Langsung ke konten utama

Postingan

Serupa Aku

Aku adalah serupa aku. Aku titahan sang bumi tuk menjalani lakon-lakon. Aku diberi pilihan, menjadi aku atau bukan aku. Tapi kutanya, memangnya AKU seperti apa? Sebab menjadi yang BUKAN AKU lebih mudah, kulakukan. Hingga aku lupa dengan aku yang sebenarnya. - Shofi MI
Postingan terbaru

Banyak Kenyataan yang Menampar Diri

Semua pasti pernah mengalami kecewa. Sakit hati. Putus asa. Dan ingin menyerah. Sama sesuatu yang diharapkan akan kita miliki. Seperti cita-cita, mimpi, dan harapan. Sewaktu kecil teramat mudah untuk kita mengatakan ingin jadi dokter, jadi arsitek, jadi pilot, jadi polisi, jadi tentara, menjadi apa pun yang anak kecil anggap sebagai kesuksesan di masa depan. Tapi seiring kita tumbuh, banyak kenyataan yang menampar diri, yang membuat kita menyadari bahwa enggak semua yang diinginkan bisa diwujudkan. Bermimpi sebenarnya murah, gratis malahan. Tapi untuk mewujudkannya itu yang memerlukan modal besar. Modalnya tidak hanya berupa uang, tapi juga dukungan sekitar. Modal yang paling mahal saat mengejar cita-cita adalah dukungan orang terdekat. Bukan uang, karena uang masih bisa dicari selama kita ingin berusaha, dan Tuhan sudah mengatur rejeki setiap manusia. Tapi dukungan orang sekitar adalah kemahalan yang kerap tidak bisa dimiliki bagi sebagian orang. Kita miskin terhadap dukun

Kisahku Bersama Seorang Lelaki Bernama Lupa - Cerita

Ini kisahku bersama seorang lelaki bernama Lupa. Dia adalah satu di antara lelaki-lelaki yang mendekatiku. Tetapi dia tidak pernah mempercayaiku kalau aku memilihnya karena ia berbeda. Dia selalu mengatakan, banyak lelaki yang lebih darinya. Lebih tampan, lebih kaya, lebih pintar, lebih pengertian, dan semua pembandingan diri ia ucapkan. Sudah kubilang, dia memang tidak mempunyai semua yang ada pada lelaki lain. Kau tau itu apa? Dia selalu lupa bahwa dia mencintaiku. Dia tidak pernah mengatakan aku cinta kamu, dia tidak pernah mengatakan aku sayang kamu, dan dia tidak pernah mengatakan aku membutuhkan kamu, kepadaku. Apa aku marah? Tidak. Apa aku menuntut dia untuk melakukan itu? Tidak. Bagaimana aku bisa tau dia mencintaiku, menyayangiku, dan membutuhkanku di hidupnya? Dia selalu memperlakukanku dengan istimewa, tatap matanya seolah berkata agar aku jangan pernah pergi dari sisinya. Dia memperhatikanku lebih, ketika aku sakit, meski hanya sekadar flu ringan. Dia selalu menyuruhku tidu

Ketika Merasa Diri Enggak Baik - Perspektif

Ketika merasa hancur, ingat, banyak di luar sana yang lebih hancur, tapi enggak kelihatan, dan enggak semuanya harus diperlihatkan. Ketika merasa sedih, di luar juga banyak yang lebih sedih, tapi mereka berusaha tersenyum seolah enggak terjadi apa pun yang menyakitkan. Ketika merasa cengeng, di luar sana banyak orang yang sudah enggan menangis karena saking lelahnya. Keluarkan air mata, enggak ada salahnya dan bukan pertanda kelemahan. Ketika merasa sendirian, itu hanya pikiranmu saja, banyak orang di sekelilingmu yang peduli, hanya saja kamu enggak menyadari. Ketika merasa patah hati, banyak pasangan di luar sana yang jauh lebih patah darimu, tapi mereka berusaha terlihat utuh. Enggak selamanya sendiri berarti sepi, dan enggak selamanya berdua berarti merasa utuh. Ketika merasa duniamu enggak sebaik yang kamu harapkan, ini hidup. Bahkan dalam sebuah game pun selalu ada sialnya, apalagi dunia nyata. Hidup sudah Tuhan atur sedemikian rupa, mudahnya kita hanya tinggal menjal

Di Balik Tawa dan Rasa: Kisah Dari Hanggia (10 - SELESAI)

Abimana mengadang langkahku yang akan berjalan ke luar kelas. Dia tersenyum lebar di hadapanku yang sedang malas menatapnya. "Gi, mau tau enggak?" "Apa?" "Aku, pacaran sama Gantari." "Iya?" "Iya, Gi. Enggak percaya?" "Enggak." Abimana menatapku, sementara aku berusaha agar tidak menunjukkan rasa kecewa. Aku sengaja menyangkal dengan berkata tidak memercayainya, padahal aku tahu di dunia ini tidak ada yang mustahil, apalagi Abimana dan Gantari terlihat saling menyukai. "Gi, mau ke mana?" "Perpus." Kali ini Abimana tidak menghalangi langkahku. Aku berjalan sendirian ke perpustakaan, padahal sebelumnya aku berniat untuk pergi ke kantin. Tapi, sepertinya aku membutuhkan ketenangan. "Gi?" "Abimanyu, kok ada di sini?" "Mau pinjem buku. Kamu juga?" "Enggak, mau duduk aja di sana." Abimanyu mengangguk, pandangan matanya mengikuti arah jari telunjukku. "Mau ak

Di Balik Tawa dan Rasa: Kisah Dari Hanggia (9)

Aku hampir tertidur, tapi ponselku berdering. Ternyata Abimana meneleponku, dia meminta maaf karena merasa tidak enak. Dia tidak ingin aku berpikiran bahwa dia memprioritaskan Gantari dibanding aku, padahal aku tidak berpikiran seperti itu. Abimana berjanji akan menjemputku besok pagi untuk berangkat sekolah bersama, dan aku mengiyakannya. Sementara orang yang berjanji akan menghubungiku malam ini, tidak kunjung ada menghubungi. "Belum berangkat Gi?" "Belum Bu." "Mau bareng sama Ibu?" "Enggak, Abimana mau jemput aku." Mendengar suara motor yang datang, lantas aku berpamitan kepada ibu dan segera berlari ke luar rumah. "Lho? Abimanyu?" "Hai." "Ya, hai. Kakakmu mana?" "Gi, kakakku udah berangkat tadi, pagi banget. Dia bilang sama aku suruh jemput kamu, takut kamu kesiangan karena nungguin dia." "Kok bisa?" "Katanya, tadi malam Gantari mendadak ada tugas kuliah, harus selesai pagi in

Di Balik Tawa dan Rasa: Kisah Dari Hanggia (8)

Aku tidak ingin kehilangan Abimana hanya karena dia dekat dengan sepupuku. Kalau perlu bersaing, aku bersedia, agar aku tidak kehilangan Abimana, sahabat laki-lakiku yang selama ini kucintai. Lagipula, Gantari dan Abimana baru saling kenal, mereka tidak akan terlalu jauh menjalin hubungan, semoga. Cuaca hari ini cukup mendung, menurut info ramalan cuaca, nanti sore akan turun hujan. Aku akan menebeng kepada Abimana lagi jika nanti turun hujan. Kabar baik, semenjak kami kehujanan hari lalu, Abimana selalu membawa dua jas hujan, katanya satu untukku dan satu untuknya. "Gi!" "Apa Bim?" "Gantari baik, ya." "Iya." "Kamu penasaran, kan? Kenapa aku bisa deket sama dia?" "Ya, kenapa?" "Jaman sekarang udah canggih, Gi. Aku stalking Gantari, berhasil tukeran nomor." "Segitunya?" "Ini namanya perjuangan, Gi." "Mudah banget perjuangannya, cuma stalking, langsung tukeran nomor." "Dia

Di Balik Tawa dan Rasa: Kisah Dari Hanggia (7)

Hari minggu adalah hari yang paling aku tunggu, bukan karena liburnya. Tapi, di hari minggu aku bisa menghabiskan waktu seharian bersama ibu, tanpa ada pekerjaan ibu yang mengganggu. "Gi?" "Ya, Bu?" "Kamu, udah punya pacar belum?" tanya ibu sambil menyirami tanaman miliknya. "Aku enggak mau pacaran." "Mau fokus belajar dulu?" "Iya, aku mau bahagiain Ibu dulu." Ibu tertawa. "Ibu selama ini bahagia kok, enggak perlu repot-repot membahagiakan Ibu. Kebahagiaan kamu juga penting." "Tapi kebahagiaan Ibu lebih penting." "Ya udah, gimana kalau kita saling membahagiakan aja?" "Ide bagus." Aku tertawa, dan melingkarkan jari kelingkingku kepada jari kelingking ibu.  Pandangan kami teralihkan saat sebuah motor memasuki halaman rumah. Abimana datang tanpa memberitahuku terlebih dahulu. Pakaiannya rapi sekali, tidak seperti biasanya, padahal kita enggak janjian untuk keluar. "Bim? Ada

Di Balik Tawa dan Rasa: Kisah Dari Hanggia (6)

Kedatangan Abimana menghentikan langkahku. Dia tampak lunglai dan tidak bersemangat. Tapi, dia enggak membawa motor seperti biasanya, kalau enggak salah barusan aku lihat dia diantar oleh Abimanyu. Aku mempercepat langkah dan menyusul Abimana yang sudah memasuki gerbang sekolah. "Bim? Are you okay ?" " No, Gi," jawab Abimana sambil menatapku dan tersenyum. Tapi, senyuman itu bukanlah senyuman milik Abimana yang biasa dia berikan untukku. "Kenapa?" Abimana tidak menjawab, dia masih berjalan di sampingku. "Tadi kamu diantar Abimanyu? Memangnya dia enggak sekolah?"  Abimana terdiam. Aku dan dia saling berhadapan di salah satu koridor sekolah. "Mulai besok adikku sekolah di sini, Gi." "Pindah?" "Iya." "Bukannya kamu harusnya seneng ya, Bim? Kan, kamu jadi enggak sendirian." "Ibuku mau menikah lagi, Gi. Adikku enggak mau tinggal sama ayah tirinya, jadi dia pengin tinggal di sini sama aku dan aya

Di Balik Tawa dan Rasa: Kisah Dari Hanggia (5)

Sebelum menaiki motor untuk pulang, selalu saja terjadi perbincangan yang enggak penting antara aku dan Abimana di parkiran sekolah. Padahal kami satu kelas, pulang dan pergi sekolah selalu bersama, tapi obrolan darinya enggak pernah habis. Mulutnya seakan diciptakan untuk memenuhi ruang telingaku. "Udah, ayo, pulang." "Sebentar, Gi, aku masih pengin di sini." "Ngapain? Di parkiran?" "Ya, menurutmu ini apa?" "Parkiran." "Ya, bebas dong, memangnya parkiran dibuat untuk istirahat kendaraan aja? Enggak, Gi." "Terus?" "Manusia juga berhak istirahat di sini." "Garing, enggak lucu, Bim." "Aku enggak melawak. Suasana di parkiran sekolah kita lebih adem daripada di kantin, lumayan buat nenangin pikiran. Pikiranku kusut, gara-gara pelajaran bahasa inggris barusan." Aku menahan tawa dan mengalihkan pandangan dari Abimana, melihat sekitar kami sudah mulai sepi. "Kalau pengin ketawa

Di Balik Tawa dan Rasa: Kisah Dari Hanggia (4)

Aku enggak peduli Abimana ada di rumahnya atau enggak. Kalau ia tidak ada, aku akan menunggu dia pulang di teras rumahnya, enggak apa-apa sampai malam hari, daripada ponselku enggak balik lagi. Abimana bercandanya keterlaluan. Dia menyembunyikan ponselku dan membawanya ke rumah, pantas saja tadi ia ketawa-ketawa ketika aku marah-marah di kelas, bukannya bantuin, ternyata memang dia dalangnya, untung teman Abimana yang waktu itu meminjamkan jas hujan untukku memberitahu. Katanya, ponselku disembunyiin oleh Abimana. "Bim, enggak lucu," ucapku ketika mendapati Abimana duduk di terasnya. Abimana tidak menjawab, dia hanya melongo. Aku tidak akan termakan sandiwaranya. Aku duduk di salah satu kursi. "Mana ponselku, Bim? Aku mau pulang." "Ponsel?" "Iya, mana?" Abimana mengedikkan bahu, dia menggaruk-garuk kepala dan bangkit dari duduknya. "Bim!" Aku menarik lengannya, sehingga dia tidak jadi masuk ke dalam rumah. Namun, tiba-tiba s

Di Balik Tawa dan Rasa: Kisah Dari Hanggia (3)

Hujan deras baru saja turun. Aku menggerutu sendiri, seakan menyalahkan guru yang baru saja selesai mengajar. Andai saja kelasku pulang tepat waktu, pasti sekarang aku sudah ada di rumah dan tidak akan menatap rintik hujan yang menghalangiku untuk pulang. Aku melihat Abimana melipat ujung celananya hingga lutut. Tas yang ia gendong sudah dipasangi pelindung agar tidak kehujanan. Pasti dia akan menerobos hujan yang deras ini dan memaksakan diri untuk pulang. "Wey!" "Bim, ikut pulang dong, makin sore nih," pintaku dengan cemas, setelah melihat jam menunjukkan pukul setengah lima sore. Abimana tidak langsung menjawab, dia menatap rintik hujan yang kini semakin deras mengguyur. "Nanti kamu kehujanan Gi, kalau bareng sama aku. Aku tungguin sampai dapet angkot aja, gimana?" "Percuma, rumahku kan jauh dari jalan, Bim. Nanti juga pasti kehujanan pas turun dari angkot." Abimana merenung sebentar, dia melihat sekitar, lalu berjalan ke salah sat

Di Balik Tawa dan Rasa: Kisah Dari Hanggia (2)

Ibuku berlari dan membuka pintu kamar ketika mendengar aku berteriak. Seketika aku memberhentikan aksi selebrasiku yang tentu saja mengundang berisik di dalam rumah. Aku mengerti tatapan mata ibu, seakan bertanya kenapa. Aku hanya menyengir dan menggelengkan kepala, lantas ibu pergi lagi sambil menutup pintu kamarku. "Gi, aku mau ikut audisi stand up comedy , mau dengerin dulu enggak?" "Dengerin apa?" "Lawakanku. Hitung-hitung latihan di depan kamu, sebelum tampil di depan juri." "Ya udah, panggung dipersilakan," ucapku sambil menutup buku catatan. "Lucu, lumayan." Abimana bertepuk tangan sambil tertawa. Kemudian dia menunjukku, seketika aku menunjuk diriku sendiri. "Apanya yang lucu Bim?"   tanyaku. "Barusan, ah udah, lupakan." "Jadi enggak nih?" Abimana menarik napas, mengembuskannya pelan. Bibirnya komat-kamit, bukan baca mantra, ia membaca doa. Dia menatapku dan tersenyum, kemudian mengepal

Di Balik Tawa dan Rasa: Kisah Dari Hanggia (1)

"Semesta, aku sangat mencintai Abimana. Tapi, rasanya dunia terlalu nyata untuk kita. Biarlah dia hidup dalam kepalaku saja. Kalau boleh, sampaikan ke Tuhan, tolong jaga dia. Katakan lewat mimpinya, aku akan selalu ada kapanpun dia membutuhkanku." Sedari tadi aku senyum-senyum sendiri sambil menulis sebuah surat, tentang perasaanku kepada seorang laki-laki bernama Abimana.  Surat ini sebenarnya persis seperti permohonan kepada Tuhan, permintaan dan pengungkapan keinginan, atau kalian menyebutnya: doa. Surat ini kutujukan kepada Tuhan, yang membuat aku dan Abimana hadir ke dunia, lalu kami bertemu di satu sekolah, bahkan di satu kelas.  Surat ini kukirimkan melalui perantara semesta, nanti ia kirimkan kepada Tuhan. Katanya, kalau permintaan kita ingin dikabulkan, harus membuat Tuhan senang, kuharap Tuhan senang atas permintaanku dan caraku meminta kepada-Nya.  Ah, kalian tidak romantis, pasti kalian berpikir, kenapa tidak langsung saja meminta dan berucap kepada Tu

Kita Akan Baik-baik Saja - Perspektif

Kita selalu dipaksa baik-baik saja oleh keadaan. Ketika yang tidak diharapkan justru menghampiri. Ketika yang ditakutkan justru semakin membayangi. Ketika kita selalu dipaksa menjalani sesuatu yang tidak kita sukai. Dan, ketika kita selalu dipaksa untuk mengatakan kepada diri sendiri, "ya sudahlah, terima saja, mungkin harusnya memang seperti ini." Padahal jauh dari hati, kita memaki diri sendiri, menyalahkan keadaan dan terkadang menyalahkan orang sekitar. Padahal pikiran kita juga tidak ingin seperti itu, tapi hati selalu memberontak seakan ia yang paling benar. Kita nggak bisa memaki diri sendiri, karena sebenarnya kita begitu hebat bisa berdiri sampai di sini. Berterima kasihlah kepada diri kita sendiri, dan katakan kepadanya, "nanti kita akan baik-baik saja, baik-baik saja yang memang baik-baik saja, bukan sekadar baik-baik saja yang dipaksa oleh keadaan." Kita nggak bisa menyalahkan keadaan, karena jika kita bisa mengatur keadaan untuk menjadi apa

Jika Kau Tidak Bahagia, Aku Juga - Senandika

Sudah berapa kali kau mengatakan dia selalu bersikap dingin, dan sudah berapa kali juga kulihat kau menangis karena dia yang tidak pernah merasa bahagia memilikimu. Aku enggan ikut campur, meski sebenarnya mau-mau saja. Untuk memberi pelajaran kepada dia yang tidak pernah menghargai kehadiran seseorang di sisinya. Andai naluriku terlalu berani, ingin sekali kukatakan kepada kekasihmu bahwa ada seseorang di sini yang ingin menggantikan posisinya untuk bersamamu. Di hari minggu ini yang seharusnya membuatku pergi untuk berkumpul bersama teman-teman, lantas urung karena dirimu datang. Kau memintaku untuk mendengarkan keluhanmu seperti biasa. Raga ingin menolak untuk mendengarkanmu, tetapi batin selalu mengalahkannya. Kutelepon beberapa temanku dan mengirimkan pesan kepada mereka bahwa rencana kumpul-kumpul yang sedari satu minggu lalu sudah kami rencanakan, aku tidak bisa datang dan duduk di salah satu kursi di antara mereka. Kubilang pada mereka bahwa ada hal mendesak yang ti

Sederhana dan Hanya Untuk Kebahagiaannya - Senandika

"Satu masa tlah terlewati. Benci dan rindu merasuk di kalbu." Entah mengapa lagu berjudul "Ada Apa Dengan Cinta" begitu asik mengalun di telinga dan pikiranku yang sedang berisik. Mendengar kata "benci" dan "rindu" seakan tidak bisa dipisahkan jika mengingat kenangan kita di masa dulu. Terasa bias dan aku tidak bisa membedakan batas antara benci dan rindu. Ah! Aku bukan sengaja mengingat, lagipula siapa yang ingin mengingat hal menyakitkan? Meskipun saat ini kau masih bersamaku, seolah dulu tidak pernah terjadi hal menyakitkan yang membuat masing-masing dari kita berlalu. Katamu, di saat kebersamaan tidak lagi membuat bahagia, kita butuh pergi sementara untuk menyadari masing-masing dari kita berhak bahagia. Ternyata benar, kita sama-sama pergi tuk sementara, dan kembali datang untuk menyambung luka. Pada akhirnya kita sama-sama menyadari setelah sama-sama pergi, bahwa kita berhak berbahagia. Kau berhak berbahagia dengan yang selain aku. Kute

Yang Kau Bawa Telah Mati - Puisi

Bersama malam engkau menunggu fajar. Dikelilinginya rasa rindu yang bertahap usai. Karena kau ada setelah tiada. Kau pergi hingga kembali ke hadapanku lagi. Kau berdiri dengan menggenggam tiga tangkai mawar yang tidak berduri. Layu. Mati. Yang cantik dari mawar itu sudah berguguran dalam perjalananmu membawanya ke sini. Kita bertemu di tengah jalan menuju pelataran tujuan. Tujuanmu adalah tempat diriku yang kau kira masih menunggumu. Engkau merasa senang. Bahagia. Senyummu merekah. Karena lebih cepat menemuiku sebelum tiba di tempat yang seharusnya kau tuju. Tetapi kau hanya ingat tujuanmu. Tidak tahu apa yang kumau. Tiga mawar yang sudah mati itu terempas. Jatuhnya sama sekali tidak menunjukkan kecantikannya. Untuk apa kau membawa yang sudah mati? (Bagian dari kumpulan puisi "Sapa Aku Dalam Gamang" -  Shofi MI)

Hujan Bersama Malaikat - Senandika

Aku terbiasa jatuh, terbiasa kemudian bangkit tanpa menunggu waktu. Untuk apa berlarut dalam rasa perih? Untuk apa terus mengemban rasa sakit? Bangkit adalah pertolongan pertama yang kulakukan ketika jatuh, bukan kata-kata motivasi, bukan curhatan seorang teman, bukan ceramah seorang tokoh agama, dan bukan kisah-kisah masa kesulitan para orang terkenal yang kemudian sukses dan berbagi kisah kepedihan mereka di masa dahulu. Bagiku itu untuk apa? Kata-kata motivasi bagiku hanya berguna sementara, yang nantinya akan redup lagi dalam seketika. Curhatan seorang teman, hanya berlaku jika respon dia sesuai dengan yang kuharapkan, tetapi jika tidak, aku akan kecewa karena merasa tidak dimengerti, ujung-ujungnya aku menyalahkan teman, padahal yang bermasalah adalah diriku sendiri. Katanya yang dapat menolong diriku sendiri ketika terjatuh, ya diriku sendiri, bukan orang lain, selebihnya akan dibantu oleh sekitar dan alam semesta yang bekerja. Pandanganku mengawang ke langit, berharap hujan

Kita Sering Tidak Sadar Diri - Senandika

Balas demi balas kukirimkan bersama keraguan. Pikiran minta menyudahi, namun hati bergerak sendiri. Berulang kali kuminta untuk kau sudahi, supaya kau yang selama ini membingungkan diri tidak terbawa perasaan lagi oleh dia yang kau anggap segalanya. Memang benar, tegas terhadap diri sendiri lebih sulit, meminta kepada diri sendiri lebih susah untuk dilakukan. Apalagi jika hal yang menyangkut dengan cinta dan perasaan. Seakan orang yang ingin menyuruh kau berhenti dari segala rasa sakit bukan lagi terdengar seperti dukungan, tapi kau anggap sebagai cara tuk memisahkan. "Aku harus gimana lagi ya?" tanyamu dengan tatap penuh harap, berharap aku memberi solusi dan pengampunan terhadap dia yang selalu menyakiti dirimu berulang kali. "Ya, mau gimana lagi? Semuanya udah jelas kan? Dia sering nyakitin kamu." Entah hatimu dilapisi selimut setebal apa sampai sikap dinginnya dia kepadamu tidak lagi terasa, dan malah kau anggap biasa. Di saat kubela hatimu agar tetap u

Sama-sama Tidak Tahu Diri - Senandika

Rintihan dari sanubari meminta untuk berhenti, mengejar apa yang selama ini kumau, menunggu apa yang selama ini kudamba, menanti apa yang memang takkan pernah kembali. Tapi ternyata, kita memang sama-sama tidak tahu diri. Kupandangi dua gelas tanpa isi cairan apa pun. Keduanya sangat berani di depanku. Bahkan mengalahkan keberanianku untuk sekadar mengakui perasaan yang kupunya. Mereka berdua berpasangan, seperti mengejek kehadiranku yang hanya seorang diri duduk di sini. Tiap embusan napas yang membaur ke udara menandakan bahwa sudah ratusan kali jarum jam berdetak sejak aku datang ke tempat ini. Aku sudah lama menunggu kedatangan seseorang yang berjanji akan tiba hanya dalam waktu sepuluh menit sejak dia menelepon secara tiba-tiba.  "Kita bisa ketemu sekarang nggak?" Meski mata mengantuk, kepala berat dan minta ditidurkan, pikiran sudah lelah karena bekerja seharian, tetapi ketika seorang yang dicintai mampir menghubungi, energi yang sempat hilang kembali bermunculan. S

Pernikahan Antara "Pikiran dan Perasaan" Saya di Wattpad

Di bulan Desember tahun 2017 yang lalu pikiran dan perasaan saya telah menikah, otak dan hati saya meminta restu kepada diri saya sendiri bahwa mereka akan mulai "hidup bersama", meskipun terkadang mereka selalu bertentangan, tidak sejalan, dan banyak ributnya. Tanpa ada pertimbangan saya merestui otak dan hati saya untuk menikah, ya, akhirnya di akhir tahun 2017 pikiran dan perasaan saya memberanikan diri untuk menikah, dan mereka memilih Wattpad sebagai rumah pertama. Saya menulis tulisan ini di penghujung tahun 2020, tahun yang beberapa tahun ke depan akan saya kenang sebagai tahun yang penuh haha-hihi dan kepusingan diri. Penghujung tahun? Ya, di penghujung tahun ini pasangan pikiran dan perasaan saya telah menjalani pernikahan selama tiga tahun. Di tahun ketiga pernikahan mereka telah memiliki lima anak. Mau saya sebutin satu per satu dari mereka? Nggak cuma namanya yang bakalan saya sebutin, karakter dan alasan mereka hadir juga akan saya omongin  deh. Selamat mengenal