Langsung ke konten utama

Serupa Aku

Aku adalah serupa aku. Aku titahan sang bumi tuk menjalani lakon-lakon. Aku diberi pilihan, menjadi aku atau bukan aku. Tapi kutanya, memangnya AKU seperti apa? Sebab menjadi yang BUKAN AKU lebih mudah, kulakukan. Hingga aku lupa dengan aku yang sebenarnya. - Shofi MI

Kita Akan Baik-baik Saja - Perspektif


Kita selalu dipaksa baik-baik saja oleh keadaan. Ketika yang tidak diharapkan justru menghampiri. Ketika yang ditakutkan justru semakin membayangi. Ketika kita selalu dipaksa menjalani sesuatu yang tidak kita sukai. Dan, ketika kita selalu dipaksa untuk mengatakan kepada diri sendiri, "ya sudahlah, terima saja, mungkin harusnya memang seperti ini."

Padahal jauh dari hati, kita memaki diri sendiri, menyalahkan keadaan dan terkadang menyalahkan orang sekitar. Padahal pikiran kita juga tidak ingin seperti itu, tapi hati selalu memberontak seakan ia yang paling benar.

Kita nggak bisa memaki diri sendiri, karena sebenarnya kita begitu hebat bisa berdiri sampai di sini. Berterima kasihlah kepada diri kita sendiri, dan katakan kepadanya, "nanti kita akan baik-baik saja, baik-baik saja yang memang baik-baik saja, bukan sekadar baik-baik saja yang dipaksa oleh keadaan."

Kita nggak bisa menyalahkan keadaan, karena jika kita bisa mengatur keadaan untuk menjadi apa yang kita inginkan, bukanlah hidup namanya. Seperti kata Dewa 19 dalam lirik lagunya, "hidup adalah perjuangan tanpa henti-henti." Kalau tidak mau berjuang lebih baik mati saja. Tapi mati dalam keadaan menyerah dan berstatus sebagai pecundang. Apa bumi mau menerima jasadmu jika mati dalam keadaan seperti itu? Sepertinya tidak, karena bumi ini suci, tidak ingin dikotori dengan bangkai seorang pecundang.

Kita nggak bisa menyalahkan orang sekitar, hanya karena kamu merasa sendirian dan terjebak di situasi sulit sebab terlalu mendengarkan tuntutan mereka. Hidupmu adalah sepenuhnya tanggung jawab dirimu, kamu yang telah mengambil suatu keputusan hingga ada di titik ini, jadi jangan pernah menyalahkan orang-orang yang pernah menuntutmu untuk melakukan apa yang mereka mau. Karena bagaimanapun mulanya kamu bisa menolak atau mengiyakan, tapi kamu lebih memilih untuk menuruti mereka, hingga membuat dirimu terjebak dalam situasi yang tidak kamu inginkan.

Sesulit apa pun situasi yang sedang dihadapi, jangan pernah menyerah. Tuhan tidak pernah memberi ujian kepada seseorang melebihi batas kemampuannya. Katakanlah kepada diri sendiri bahwa semuanya akan baik-baik saja, hanya saja membutuhkan proses dan waktu, bersabarlah dengan itu.

*****

Tulisan ini saya tulis di bulan September tahun 2020 lalu. Di saat saya sedang merasa kacau-kacaunya (hehe, lebay sekali, padahal kalau inget sekarang-sekarang rasanya biasa saja mungkin). Terima kasih sudah membaca isi kepala saya ya, semoga bermanfaat.

Peluk hangat, semoga selalu sehat. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Di Balik Tawa dan Rasa: Kisah Dari Hanggia (10 - SELESAI)

Abimana mengadang langkahku yang akan berjalan ke luar kelas. Dia tersenyum lebar di hadapanku yang sedang malas menatapnya. "Gi, mau tau enggak?" "Apa?" "Aku, pacaran sama Gantari." "Iya?" "Iya, Gi. Enggak percaya?" "Enggak." Abimana menatapku, sementara aku berusaha agar tidak menunjukkan rasa kecewa. Aku sengaja menyangkal dengan berkata tidak memercayainya, padahal aku tahu di dunia ini tidak ada yang mustahil, apalagi Abimana dan Gantari terlihat saling menyukai. "Gi, mau ke mana?" "Perpus." Kali ini Abimana tidak menghalangi langkahku. Aku berjalan sendirian ke perpustakaan, padahal sebelumnya aku berniat untuk pergi ke kantin. Tapi, sepertinya aku membutuhkan ketenangan. "Gi?" "Abimanyu, kok ada di sini?" "Mau pinjem buku. Kamu juga?" "Enggak, mau duduk aja di sana." Abimanyu mengangguk, pandangan matanya mengikuti arah jari telunjukku. "Mau ak...

Di Balik Tawa dan Rasa: Kisah Dari Hanggia (2)

Ibuku berlari dan membuka pintu kamar ketika mendengar aku berteriak. Seketika aku memberhentikan aksi selebrasiku yang tentu saja mengundang berisik di dalam rumah. Aku mengerti tatapan mata ibu, seakan bertanya kenapa. Aku hanya menyengir dan menggelengkan kepala, lantas ibu pergi lagi sambil menutup pintu kamarku. "Gi, aku mau ikut audisi stand up comedy , mau dengerin dulu enggak?" "Dengerin apa?" "Lawakanku. Hitung-hitung latihan di depan kamu, sebelum tampil di depan juri." "Ya udah, panggung dipersilakan," ucapku sambil menutup buku catatan. "Lucu, lumayan." Abimana bertepuk tangan sambil tertawa. Kemudian dia menunjukku, seketika aku menunjuk diriku sendiri. "Apanya yang lucu Bim?"   tanyaku. "Barusan, ah udah, lupakan." "Jadi enggak nih?" Abimana menarik napas, mengembuskannya pelan. Bibirnya komat-kamit, bukan baca mantra, ia membaca doa. Dia menatapku dan tersenyum, kemudian mengepal...

Kita Sering Tidak Sadar Diri - Senandika

Balas demi balas kukirimkan bersama keraguan. Pikiran minta menyudahi, namun hati bergerak sendiri. Berulang kali kuminta untuk kau sudahi, supaya kau yang selama ini membingungkan diri tidak terbawa perasaan lagi oleh dia yang kau anggap segalanya. Memang benar, tegas terhadap diri sendiri lebih sulit, meminta kepada diri sendiri lebih susah untuk dilakukan. Apalagi jika hal yang menyangkut dengan cinta dan perasaan. Seakan orang yang ingin menyuruh kau berhenti dari segala rasa sakit bukan lagi terdengar seperti dukungan, tapi kau anggap sebagai cara tuk memisahkan. "Aku harus gimana lagi ya?" tanyamu dengan tatap penuh harap, berharap aku memberi solusi dan pengampunan terhadap dia yang selalu menyakiti dirimu berulang kali. "Ya, mau gimana lagi? Semuanya udah jelas kan? Dia sering nyakitin kamu." Entah hatimu dilapisi selimut setebal apa sampai sikap dinginnya dia kepadamu tidak lagi terasa, dan malah kau anggap biasa. Di saat kubela hatimu agar tetap u...