Langsung ke konten utama

Serupa Aku

Aku adalah serupa aku. Aku titahan sang bumi tuk menjalani lakon-lakon. Aku diberi pilihan, menjadi aku atau bukan aku. Tapi kutanya, memangnya AKU seperti apa? Sebab menjadi yang BUKAN AKU lebih mudah, kulakukan. Hingga aku lupa dengan aku yang sebenarnya. - Shofi MI

Di Balik Tawa dan Rasa: Kisah Dari Hanggia (10 - SELESAI)


Abimana mengadang langkahku yang akan berjalan ke luar kelas. Dia tersenyum lebar di hadapanku yang sedang malas menatapnya.

"Gi, mau tau enggak?"

"Apa?"

"Aku, pacaran sama Gantari."

"Iya?"

"Iya, Gi. Enggak percaya?"

"Enggak."

Abimana menatapku, sementara aku berusaha agar tidak menunjukkan rasa kecewa. Aku sengaja menyangkal dengan berkata tidak memercayainya, padahal aku tahu di dunia ini tidak ada yang mustahil, apalagi Abimana dan Gantari terlihat saling menyukai.

"Gi, mau ke mana?"

"Perpus."

Kali ini Abimana tidak menghalangi langkahku. Aku berjalan sendirian ke perpustakaan, padahal sebelumnya aku berniat untuk pergi ke kantin. Tapi, sepertinya aku membutuhkan ketenangan.

"Gi?"

"Abimanyu, kok ada di sini?"

"Mau pinjem buku. Kamu juga?"

"Enggak, mau duduk aja di sana."

Abimanyu mengangguk, pandangan matanya mengikuti arah jari telunjukku.

"Mau aku temenin?"

"Enggak usah, aku lagi pengin sendiri."

"Oh. Ya udah, aku duluan."

Abimanyu pergi setelah mencatat buku pinjamannya kepada seorang petugas perpustakaan. Aku melangkah ke sebuah kursi dan mengambil salah satu buku secara acak. Pikiranku sedang dipenuhi pertanyaan-pertanyaan tentang hubungan Abimana dan Gantari, meskipun aku berusaha mengenyahkannya, mereka malah semakin hidup di pikiranku.

Sebuah buku terbuka di depanku, sementara jariku sibuk bermain pada layar ponsel. Suasana perpustakaan yang tenang dan sepi, sedikit membantuku dalam menenangkan pikiran.

"Eh?"

Seseorang duduk di sebelahku dan membuka bukunya. Dia kembali sambil membawa sebotol air mineral, Abimanyu.

"Minum dulu, kamu belum istirahat, kan?"

"Belum, makasih, ya."

Dia mengangguk dan menatapku.

"Kenapa?" tanyaku.

"Kamu bilang lagi pengin sendiri, tapi main media sosial. Itu bukan butuh sendiri namanya, tapi butuh hiburan."

"Bisa aja kamu, Bim."

"Ya, bener kan?"

"Bener, tapi lebih tepatnya lagi butuh ketenangan." Aku tersenyum kepada Abimanyu.

"Kamu kenapa Gi? Ada masalah?"

"Enggak."

"Are you okay?"

"Ya, aku masih baik-baik aja kok. Ini bukan masalah, aku aja yang terlalu berlebihan."

"Enggak selamanya ketenangan itu bisa didapatkan ketika kita lagi sendirian, Gi."

"Maksudnya?"

"Ya, kadang kalau kita lagi sendiri, pikiran malah semakin berisik." Abimanyu tersenyum dengan tatapannya yang meneduhkan. Benar, aku tidak bisa menyangkal, ucapan Abimanyu adalah kenyataan yang sedang kualami sekarang.

Sendiri tidak membuatku bisa memahami apa yang sedang aku rasakan, dan kehadiran Abimanyu di sampingku, membuat pikiranku tidak seberisik sebelum dia datang.

Aku berjalan menuju parkiran. Untuk yang ke sekian kalinya kelasku pulang tidak tepat waktu, sehingga suasana sekolah sudah mulai sepi.

"Gi!"

Abimana berteriak dan berlari ke arahku.

"Pulang bareng, yuk? Tadi pagi kan kita enggak jadi berangkat bareng, sekarang bisa deh, mumpung aku enggak jemput Gantari di kampusnya."

Alih-alih menjawab, perhatianku teralihkan dengan datangnya Abimanyu sambil menumpangi motornya, ia mendekat ke arahku dan Abimana. Abimanyu rela menungguku selama satu jam, padahal dia bisa pulang duluan, tapi ia tidak ingin melanggar janjinya karena sudah bilang padaku akan pulang bersama.

"Aku bareng Abimanyu aja, Bim, maaf ya."

Abimana terdiam memandangiku dan Abimanyu, bahkan ketika aku sudah terduduk di motor, ia tidak berkata apa-apa.

"Aku duluan ya, Kak."

"Duluan ya, Bim."

Motor kami melaju meninggalkan Abimana yang masih mematung. Di tengah perjalanan gerimis turun, sehingga aku meminta Abimanyu agar mempercepat laju kendaraannya, tanggung jika kehujanan, karena sebentar lagi sampai di rumahku.

"Bim, mampir dulu."

"Boleh?"

"Boleh dong. Lihat tuh, ibu udah nungguin."

Aku menunjuk ibu yang sedang melambaikan tangan di ambang pintu. Sepertinya ia baru pulang dari kantor. Setelah dipanggil oleh ibu, tanpa berpikir lagi Abimanyu turun dari motornya dan masuk ke dalam rumah.

"Gi..."

"Kenapa?"

"Aku dengar, kakakku pacaran sama Gantari, itu bener?"

"Iya, tadi dia bilang sama aku."

"Oh."

"Kenapa?" tanyaku.

"Enggak, aku kira dia bohong."

Abimanyu tertawa, aku juga. Kami sama-sama membayangkan dan mengetahui sifat jailnya Abimana yang suka berbohong dan selalu mengesalkan.

"Bim?"

"Ya, Gi?"

"Kamu suka stand up comedy juga? Seperti Abimana?"

"Enggak. Aku beda sama kakakku, Gi."

"Oh ya?"

"Iya."

"Terus kamu sukanya apa?"

Abimanyu mengalihkan pandangannya dariku, seakan berpikir atau mengingat sesuatu. Lalu dia menatapku lagi.

"Aku suka puisi."

"Puisi?"

"Ya, puisi."

"Kenapa?"

"Karena bagiku puisi adalah sebuah pengungkapan perasaan, tapi dengan cara yang berbeda."

Abimanyu menatapku, sementara aku tidak mengerti dengan ucapannya yang terkesan menggantung.

"Hmm, dan kamu suka menulis puisi?"

"Ya, aku suka. Mau aku buatin puisi?"

"Enggak mau."

"Kenapa?" tanya Abimanyu.

"Belum banyak yang kamu tau tentang aku, karena aku enggak mau puisi yang kamu buatin untuk aku hanya tentang apa yang nampak dari luar diriku aja. Seperti kata kamu..."

Aku menatap Abimanyu. Dia tersenyum.

"Puisi itu soal rasa," ucap Abimanyu dengan tawanya.

"Ya, dan kita belum kenal lama."

Abimanyu memandangku, entah mengapa kali ini pandangan dia membuatku salah tingkah dan merasa enggan untuk balas menatap wajahnya.

"Gi?"

"Ya?"

"Kalau gitu, kamu mau kenal lebih jauh denganku?"

Aku tersenyum, Abimanyu masih menatapku dan menunggu jawaban.

"Ya, Bim, aku mau. Setelah kamu mengenalku, kamu bebas menulis puisi apa pun tentang aku, tentang baik dan buruk yang aku punya."

"Ya, nanti aku buatin puisi, sampai rak bukumu bukan lagi penuh oleh buku, tapi lembar kertas berisi puisi yang setiap hari aku buat untuk kamu, Gi."

Aku dan Abimanyu tertawa. Membayangkan rak buku milikku akan penuh oleh kertas-kertas puisi dari Abimanyu, kertas-kertas yang berhias tulisan tangan dan perasaannya.

Kebahagiaanku saat ini bukan hanya tentang kabar baik antara hubunganku dengan Abimanyu. Tapi, aku menemukan seseorang yang juga menyukai puisi. Aku sama seperti Abimanyu, tanpa dia ketahui. Biar saja, aku tidak akan mengatakan bahwa kesamaan di antara kami bukan hanya susah bangun tidur. Tapi juga menulis puisi dan menyampaikan rasa darinya. 

"Semesta, tolong sampaikan kepada Tuhan, terima kasih telah mempertemukanku dengan Abimanyu, laki-laki yang membuatku mengerti bahwa kesendirian tidak dapat menciptakan tenang, susah bangun tidur bukanlah hal yang memalukan, dan menulis puisi adalah salah satu cara menyampaikan perasaan."

***

Alhamdulillah, akhirnya tamat! Terima kasih ya, untuk kamu yang baca kisah mereka sampai di akhir.

Sekali lagi aku mau ucapin terima kasih ya! Untuk diriku sendiri dan kamu yang membaca ini.

Salam hangat, semoga selalu sehat. See you di cerita baruku nanti! 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Di Balik Tawa dan Rasa: Kisah Dari Hanggia (2)

Ibuku berlari dan membuka pintu kamar ketika mendengar aku berteriak. Seketika aku memberhentikan aksi selebrasiku yang tentu saja mengundang berisik di dalam rumah. Aku mengerti tatapan mata ibu, seakan bertanya kenapa. Aku hanya menyengir dan menggelengkan kepala, lantas ibu pergi lagi sambil menutup pintu kamarku. "Gi, aku mau ikut audisi stand up comedy , mau dengerin dulu enggak?" "Dengerin apa?" "Lawakanku. Hitung-hitung latihan di depan kamu, sebelum tampil di depan juri." "Ya udah, panggung dipersilakan," ucapku sambil menutup buku catatan. "Lucu, lumayan." Abimana bertepuk tangan sambil tertawa. Kemudian dia menunjukku, seketika aku menunjuk diriku sendiri. "Apanya yang lucu Bim?"   tanyaku. "Barusan, ah udah, lupakan." "Jadi enggak nih?" Abimana menarik napas, mengembuskannya pelan. Bibirnya komat-kamit, bukan baca mantra, ia membaca doa. Dia menatapku dan tersenyum, kemudian mengepal...

Kita Sering Tidak Sadar Diri - Senandika

Balas demi balas kukirimkan bersama keraguan. Pikiran minta menyudahi, namun hati bergerak sendiri. Berulang kali kuminta untuk kau sudahi, supaya kau yang selama ini membingungkan diri tidak terbawa perasaan lagi oleh dia yang kau anggap segalanya. Memang benar, tegas terhadap diri sendiri lebih sulit, meminta kepada diri sendiri lebih susah untuk dilakukan. Apalagi jika hal yang menyangkut dengan cinta dan perasaan. Seakan orang yang ingin menyuruh kau berhenti dari segala rasa sakit bukan lagi terdengar seperti dukungan, tapi kau anggap sebagai cara tuk memisahkan. "Aku harus gimana lagi ya?" tanyamu dengan tatap penuh harap, berharap aku memberi solusi dan pengampunan terhadap dia yang selalu menyakiti dirimu berulang kali. "Ya, mau gimana lagi? Semuanya udah jelas kan? Dia sering nyakitin kamu." Entah hatimu dilapisi selimut setebal apa sampai sikap dinginnya dia kepadamu tidak lagi terasa, dan malah kau anggap biasa. Di saat kubela hatimu agar tetap u...