Langsung ke konten utama

Serupa Aku

Aku adalah serupa aku. Aku titahan sang bumi tuk menjalani lakon-lakon. Aku diberi pilihan, menjadi aku atau bukan aku. Tapi kutanya, memangnya AKU seperti apa? Sebab menjadi yang BUKAN AKU lebih mudah, kulakukan. Hingga aku lupa dengan aku yang sebenarnya. - Shofi MI

Hujan Bersama Malaikat - Senandika


Aku terbiasa jatuh, terbiasa kemudian bangkit tanpa menunggu waktu. Untuk apa berlarut dalam rasa perih? Untuk apa terus mengemban rasa sakit? Bangkit adalah pertolongan pertama yang kulakukan ketika jatuh, bukan kata-kata motivasi, bukan curhatan seorang teman, bukan ceramah seorang tokoh agama, dan bukan kisah-kisah masa kesulitan para orang terkenal yang kemudian sukses dan berbagi kisah kepedihan mereka di masa dahulu. Bagiku itu untuk apa? Kata-kata motivasi bagiku hanya berguna sementara, yang nantinya akan redup lagi dalam seketika. Curhatan seorang teman, hanya berlaku jika respon dia sesuai dengan yang kuharapkan, tetapi jika tidak, aku akan kecewa karena merasa tidak dimengerti, ujung-ujungnya aku menyalahkan teman, padahal yang bermasalah adalah diriku sendiri. Katanya yang dapat menolong diriku sendiri ketika terjatuh, ya diriku sendiri, bukan orang lain, selebihnya akan dibantu oleh sekitar dan alam semesta yang bekerja.

Pandanganku mengawang ke langit, berharap hujan turun meski hanya rintik-rintik. Aku hanya butuh teman untuk temani rasa sakit yang kini ada padaku semenjak masuk ke ruang atasanku di kantor tadi. Hujan turunlah, aku hanya ingin tahu bahwa yang terjatuh bukan hanya aku, batinku mencabik kedua mata yang kian menderas. Bukan hujan ini yang kumau. Yang kumau adalah hujan dari atap langit, bukan dari atap pikiran dan hati yang kemudian keluar dari mata lalu menyusuri pipi.

"Kamu sebenarnya masih mau tidak bekerja di sini?!"

Sialan, dan aku menganggukkan kepala ketika atasanku bertanya dengan nada tingginya. Hanya karena kesalahan yang terjadi dalam waktu kurang dari lima menit dan tidak disengaja, tetapi ia melupakan dedikasiku untuk perusahaan ini yang sudah lebih dari lima tahun. Cih. Kepada tanah yang kuinjak dan kuludahi, maaf telah menyipratkan cairan menjijikan, karena tidak mungkin jika aku mengguyur wajah atasanku dengan saliva yang akan berujung di penjara.

Sesuatu membuatku menengadah ke arah langit yang kian menggelap. Gelegar petir mulai terdengar. Beberapa orang di sekitarku berlari-lari mencari tempat berteduh. Sementara aku yang sejak awal menginginkan hujan turun tetap berdiri tanpa sebuah payung untuk sekadar melindungi kepalaku. Orang-orang yang sedang berteduh menunjuk-nujuk kepadaku, ada di antara mereka yang menggeleng tanpa ekspresi, ada yang tertawa seakan menertawakan kebodohanku, ada yang meneriakiku supaya ikut berteduh, baik sekali, tetapi maaf sebab aku menginginkan hujan turun, maka aku tidak akan menghindarinya.

"Kamu ngapain di sini?"

Seseorang berlari ke arahku yang saat ini terpaku menatapnya yang sedikit basah kuyup. Malaikat turun di tengah hujan sembari membawa payung yang agak kebesaran jika ia pakai untuk seorang diri. Dia memelototiku karena hanya berdiam diri saja sambil memandangnya yang tidak kusangka akan ada bersamaku dalam melampiaskan rasa perih ini.

"Kenapa? Ayo cepet neduh. Hujannya makin deras," ucapnya sambil menarik tanganku. Sebab aku melihat ia kerepotan memegang payung yang besar itu dengan satu tangan, lantas kuambil alih payungnya dan kami berlari kecil ke sebuah ruko yang terlihat sudah lama kosong.

Kau menatapku yang sedari kita berteduh tadi hanya terdiam saja. Kau bertanya apa yang sedang kupikirkan, namun kugelengkan kepala dan tersenyum untuk menandakan baik-baik saja. Padahal kau yang sudah lama mengenalku tidak akan tertipu dengan senyumanku yang palsu. Kau menyilangkan kedua tangan di dada sambil memalingkan wajah dariku, seolah memaksaku untuk bercerita dan jika tidak kulakukan kau akan marah kepadaku berhari-hari.

"Aku nggak apa-apa."

Kau menoleh tanpa seulas senyum yang kuinginkan. Tiba-tiba pandangan kau berubah seolah menyelidik. Aku menyerah. Memang sudah kutahu kau tidak akan mampu kubohongi, padahal aku hanya tidak ingin kau ikut bersedih atas kesialanku. Ternyata di luar dugaan, bukannya ikut bersedih, kau membinarkan kedua matamu seakan ingin mentransfer energi kebahagiaan kepadaku.

Senyuman engkau seolah membuatku mengerti bahwa hidupku tidak akan sampai di sini. Katamu, dipecat dari pekerjaan bukanlah apa-apa. Setiap kata yang keluar dari mulut malaikat di hadapanku ini membuatku kembali percaya kepada hidupku sendiri. 

("Hujan Bersama Malaikat" - Shofi MI)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Di Balik Tawa dan Rasa: Kisah Dari Hanggia (10 - SELESAI)

Abimana mengadang langkahku yang akan berjalan ke luar kelas. Dia tersenyum lebar di hadapanku yang sedang malas menatapnya. "Gi, mau tau enggak?" "Apa?" "Aku, pacaran sama Gantari." "Iya?" "Iya, Gi. Enggak percaya?" "Enggak." Abimana menatapku, sementara aku berusaha agar tidak menunjukkan rasa kecewa. Aku sengaja menyangkal dengan berkata tidak memercayainya, padahal aku tahu di dunia ini tidak ada yang mustahil, apalagi Abimana dan Gantari terlihat saling menyukai. "Gi, mau ke mana?" "Perpus." Kali ini Abimana tidak menghalangi langkahku. Aku berjalan sendirian ke perpustakaan, padahal sebelumnya aku berniat untuk pergi ke kantin. Tapi, sepertinya aku membutuhkan ketenangan. "Gi?" "Abimanyu, kok ada di sini?" "Mau pinjem buku. Kamu juga?" "Enggak, mau duduk aja di sana." Abimanyu mengangguk, pandangan matanya mengikuti arah jari telunjukku. "Mau ak...

Di Balik Tawa dan Rasa: Kisah Dari Hanggia (2)

Ibuku berlari dan membuka pintu kamar ketika mendengar aku berteriak. Seketika aku memberhentikan aksi selebrasiku yang tentu saja mengundang berisik di dalam rumah. Aku mengerti tatapan mata ibu, seakan bertanya kenapa. Aku hanya menyengir dan menggelengkan kepala, lantas ibu pergi lagi sambil menutup pintu kamarku. "Gi, aku mau ikut audisi stand up comedy , mau dengerin dulu enggak?" "Dengerin apa?" "Lawakanku. Hitung-hitung latihan di depan kamu, sebelum tampil di depan juri." "Ya udah, panggung dipersilakan," ucapku sambil menutup buku catatan. "Lucu, lumayan." Abimana bertepuk tangan sambil tertawa. Kemudian dia menunjukku, seketika aku menunjuk diriku sendiri. "Apanya yang lucu Bim?"   tanyaku. "Barusan, ah udah, lupakan." "Jadi enggak nih?" Abimana menarik napas, mengembuskannya pelan. Bibirnya komat-kamit, bukan baca mantra, ia membaca doa. Dia menatapku dan tersenyum, kemudian mengepal...

Kita Sering Tidak Sadar Diri - Senandika

Balas demi balas kukirimkan bersama keraguan. Pikiran minta menyudahi, namun hati bergerak sendiri. Berulang kali kuminta untuk kau sudahi, supaya kau yang selama ini membingungkan diri tidak terbawa perasaan lagi oleh dia yang kau anggap segalanya. Memang benar, tegas terhadap diri sendiri lebih sulit, meminta kepada diri sendiri lebih susah untuk dilakukan. Apalagi jika hal yang menyangkut dengan cinta dan perasaan. Seakan orang yang ingin menyuruh kau berhenti dari segala rasa sakit bukan lagi terdengar seperti dukungan, tapi kau anggap sebagai cara tuk memisahkan. "Aku harus gimana lagi ya?" tanyamu dengan tatap penuh harap, berharap aku memberi solusi dan pengampunan terhadap dia yang selalu menyakiti dirimu berulang kali. "Ya, mau gimana lagi? Semuanya udah jelas kan? Dia sering nyakitin kamu." Entah hatimu dilapisi selimut setebal apa sampai sikap dinginnya dia kepadamu tidak lagi terasa, dan malah kau anggap biasa. Di saat kubela hatimu agar tetap u...