Aku adalah serupa aku. Aku titahan sang bumi tuk menjalani lakon-lakon. Aku diberi pilihan, menjadi aku atau bukan aku. Tapi kutanya, memangnya AKU seperti apa? Sebab menjadi yang BUKAN AKU lebih mudah, kulakukan. Hingga aku lupa dengan aku yang sebenarnya. - Shofi MI

Pandanganku mengawang ke langit, berharap hujan turun meski hanya rintik-rintik. Aku hanya butuh teman untuk temani rasa sakit yang kini ada padaku semenjak masuk ke ruang atasanku di kantor tadi. Hujan turunlah, aku hanya ingin tahu bahwa yang terjatuh bukan hanya aku, batinku mencabik kedua mata yang kian menderas. Bukan hujan ini yang kumau. Yang kumau adalah hujan dari atap langit, bukan dari atap pikiran dan hati yang kemudian keluar dari mata lalu menyusuri pipi.
"Kamu sebenarnya masih mau tidak bekerja di sini?!"
Sialan, dan aku menganggukkan kepala ketika atasanku bertanya dengan nada tingginya. Hanya karena kesalahan yang terjadi dalam waktu kurang dari lima menit dan tidak disengaja, tetapi ia melupakan dedikasiku untuk perusahaan ini yang sudah lebih dari lima tahun. Cih. Kepada tanah yang kuinjak dan kuludahi, maaf telah menyipratkan cairan menjijikan, karena tidak mungkin jika aku mengguyur wajah atasanku dengan saliva yang akan berujung di penjara.
Sesuatu membuatku menengadah ke arah langit yang kian menggelap. Gelegar petir mulai terdengar. Beberapa orang di sekitarku berlari-lari mencari tempat berteduh. Sementara aku yang sejak awal menginginkan hujan turun tetap berdiri tanpa sebuah payung untuk sekadar melindungi kepalaku. Orang-orang yang sedang berteduh menunjuk-nujuk kepadaku, ada di antara mereka yang menggeleng tanpa ekspresi, ada yang tertawa seakan menertawakan kebodohanku, ada yang meneriakiku supaya ikut berteduh, baik sekali, tetapi maaf sebab aku menginginkan hujan turun, maka aku tidak akan menghindarinya.
"Kamu ngapain di sini?"
Seseorang berlari ke arahku yang saat ini terpaku menatapnya yang sedikit basah kuyup. Malaikat turun di tengah hujan sembari membawa payung yang agak kebesaran jika ia pakai untuk seorang diri. Dia memelototiku karena hanya berdiam diri saja sambil memandangnya yang tidak kusangka akan ada bersamaku dalam melampiaskan rasa perih ini.
"Kenapa? Ayo cepet neduh. Hujannya makin deras," ucapnya sambil menarik tanganku. Sebab aku melihat ia kerepotan memegang payung yang besar itu dengan satu tangan, lantas kuambil alih payungnya dan kami berlari kecil ke sebuah ruko yang terlihat sudah lama kosong.
Kau menatapku yang sedari kita berteduh tadi hanya terdiam saja. Kau bertanya apa yang sedang kupikirkan, namun kugelengkan kepala dan tersenyum untuk menandakan baik-baik saja. Padahal kau yang sudah lama mengenalku tidak akan tertipu dengan senyumanku yang palsu. Kau menyilangkan kedua tangan di dada sambil memalingkan wajah dariku, seolah memaksaku untuk bercerita dan jika tidak kulakukan kau akan marah kepadaku berhari-hari.
"Aku nggak apa-apa."
Kau menoleh tanpa seulas senyum yang kuinginkan. Tiba-tiba pandangan kau berubah seolah menyelidik. Aku menyerah. Memang sudah kutahu kau tidak akan mampu kubohongi, padahal aku hanya tidak ingin kau ikut bersedih atas kesialanku. Ternyata di luar dugaan, bukannya ikut bersedih, kau membinarkan kedua matamu seakan ingin mentransfer energi kebahagiaan kepadaku.
Senyuman engkau seolah membuatku mengerti bahwa hidupku tidak akan sampai di sini. Katamu, dipecat dari pekerjaan bukanlah apa-apa. Setiap kata yang keluar dari mulut malaikat di hadapanku ini membuatku kembali percaya kepada hidupku sendiri.
("Hujan Bersama Malaikat" - Shofi MI)
Komentar
Posting Komentar