Langsung ke konten utama

Serupa Aku

Aku adalah serupa aku. Aku titahan sang bumi tuk menjalani lakon-lakon. Aku diberi pilihan, menjadi aku atau bukan aku. Tapi kutanya, memangnya AKU seperti apa? Sebab menjadi yang BUKAN AKU lebih mudah, kulakukan. Hingga aku lupa dengan aku yang sebenarnya. - Shofi MI

Di Balik Tawa dan Rasa: Kisah Dari Hanggia (4)


Aku enggak peduli Abimana ada di rumahnya atau enggak. Kalau ia tidak ada, aku akan menunggu dia pulang di teras rumahnya, enggak apa-apa sampai malam hari, daripada ponselku enggak balik lagi.

Abimana bercandanya keterlaluan. Dia menyembunyikan ponselku dan membawanya ke rumah, pantas saja tadi ia ketawa-ketawa ketika aku marah-marah di kelas, bukannya bantuin, ternyata memang dia dalangnya, untung teman Abimana yang waktu itu meminjamkan jas hujan untukku memberitahu. Katanya, ponselku disembunyiin oleh Abimana.

"Bim, enggak lucu," ucapku ketika mendapati Abimana duduk di terasnya.

Abimana tidak menjawab, dia hanya melongo. Aku tidak akan termakan sandiwaranya. Aku duduk di salah satu kursi.

"Mana ponselku, Bim? Aku mau pulang."

"Ponsel?"

"Iya, mana?"

Abimana mengedikkan bahu, dia menggaruk-garuk kepala dan bangkit dari duduknya.

"Bim!"

Aku menarik lengannya, sehingga dia tidak jadi masuk ke dalam rumah. Namun, tiba-tiba seseorang muncul dari dalam rumah. Aku dibuat syok oleh kedua orang di hadapanku.

"Ha?"

"Gi, kamu ngapain di sini?"

Aku tidak menjawab. Dua laki-laki yang wajahnya sangat mirip ini berdiri di hadapanku. Salah satu di antara mereka tertawa dan memegang kedua bahuku.

"Kamu belum tau ya?"

"Apa?"

"Ini kembaranku, namanya Abimanyu."

"Sejak kapan kamu punya kembaran?"

Aku menepuk jidat setelah melontarkan pertanyaan itu, bodoh. Dua laki-laki di hadapanku ini tertawa berbarengan.

"Kenalin, aku Abimanyu, adiknya Abimana."

"Hanggia, panggil aja Gi."

Aku dan Abimanyu bersalaman. Kuperhatikan wajah mereka, sama persis, hampir tidak dapat dibedakan. Melihatku yang terus-terusan bengong, mereka tertawa lagi.

"Kamu ngapain ke rumahku? Tumben."

"Ponselku mana?"

"Aku enggak tau, Gi."

"Enggak lucu."

"Aku enggak melawak, Gi, beneran."

"Bim, aku mau pulang."

"Ya udah, aku antar."

"Bukan itu tujuanku ke sini. Aku mau ngambil ponselku, nanti ibuku telepon."

"Nanti kuangkat teleponnya."

"Bim!"

"Kak..." 

Abimanyu bersuara dengan kalemnya, bermaksud menegur kakaknya agar berhenti membercandaiku, dia pasti sudah mengetahui betul watak kakaknya. Dua saudara kembar itu malah saling ketawa.

"Mana? Cepet ambil ponselnya!"

"Enggak mau, mager."

"Bim! Aku mau pulang, cepet!"

"Udah aku bilang, aku antar, ayo."

"Aku mau pulang, lapar! Cepet!"

"Ya udah, ayo, cari makan."

"Aku pulang telat gara-gara kamu, nanti aku aduin ke ibuku."

"Aku bilangin ayah, masa anak laki-lakinya dimarahin perempuan gini."

"Mana ayahmu?" 

"Ada di dalam."

"Aku bilangin ke ayah kamu, anaknya ngeselin."

Aku menerobos masuk ke dalam rumah Abimana, namun tanganku ditarik olehnya, sehingga aku kembali terduduk.

"Sebentar, aku ambil. Bawel!"

Abimana melangkah ke dalam rumah. Tidak lama ia kembali sambil membawa ponselku. Setelah ponselku sudah berpindah tangan, lantas aku pergi tanpa berucap apa pun karena masih kesal kepada Abimana. Tapi, tiba-tiba ia mengejar dan menghalangi langkahku.

"Gi! Mau ke mana?"

"Pulang."

"Aku antar."

"Enggak usah. Bisa sendiri."

"Yakin?"

"Iya, awas."

"Aku yang enggak yakin."

"Hah?"

"Jam segini udah enggak ada angkot, Gi."

"Aku mau dijemput ibu."

"Ibumu tadi telepon, pulang malem, kerja lembur di kantor."

"Ya udah, jalan kaki."

"Enggak usah nyiksa diri sendiri. Diem, tunggu, aku ambil motor dulu."

Abimana berlari, aku hanya memandangi punggungnya yang menghilang dengan cepat. Tidak menunggu lama, dia kembali dengan menumpangi motornya.

"Ayo."

"Makasih."

"Tumben, bilang makasih."

"Enggak sengaja."

Abimana tertawa, lalu ia melajukan motor perlahan. Langit mulai menggelap, waktu menunjukkan pukul setengah enam sore. Aku pulang telat karena ulah Abimana. Tetapi, kalau dia tidak menyembunyikan dan membawa pulang ponselku, aku tidak akan diantar pulang olehnya saat ini. Meskipun aku dan Abimana sering pulang dan pergi ke sekolah berdua, tapi setiap hari rasanya selalu sama, selalu membuatku bahagia, seolah tidak biasa.

***

Alhamdulillah, udah sampai part 4 nih. Gimana? Lanjut ke part 5 yuk!
Btw, makasih ya, karena masih ngikutin cerita aku.
Salam hangat, semoga selalu sehat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketika Merasa Diri Enggak Baik - Perspektif

Ketika merasa hancur, ingat, banyak di luar sana yang lebih hancur, tapi enggak kelihatan, dan enggak semuanya harus diperlihatkan. Ketika merasa sedih, di luar juga banyak yang lebih sedih, tapi mereka berusaha tersenyum seolah enggak terjadi apa pun yang menyakitkan. Ketika merasa cengeng, di luar sana banyak orang yang sudah enggan menangis karena saking lelahnya. Keluarkan air mata, enggak ada salahnya dan bukan pertanda kelemahan. Ketika merasa sendirian, itu hanya pikiranmu saja, banyak orang di sekelilingmu yang peduli, hanya saja kamu enggak menyadari. Ketika merasa patah hati, banyak pasangan di luar sana yang jauh lebih patah darimu, tapi mereka berusaha terlihat utuh. Enggak selamanya sendiri berarti sepi, dan enggak selamanya berdua berarti merasa utuh. Ketika merasa duniamu enggak sebaik yang kamu harapkan, ini hidup. Bahkan dalam sebuah game pun selalu ada sialnya, apalagi dunia nyata. Hidup sudah Tuhan atur sedemikian rupa, mudahnya kita hanya tinggal menjal

Kisahku Bersama Seorang Lelaki Bernama Lupa - Cerita

Ini kisahku bersama seorang lelaki bernama Lupa. Dia adalah satu di antara lelaki-lelaki yang mendekatiku. Tetapi dia tidak pernah mempercayaiku kalau aku memilihnya karena ia berbeda. Dia selalu mengatakan, banyak lelaki yang lebih darinya. Lebih tampan, lebih kaya, lebih pintar, lebih pengertian, dan semua pembandingan diri ia ucapkan. Sudah kubilang, dia memang tidak mempunyai semua yang ada pada lelaki lain. Kau tau itu apa? Dia selalu lupa bahwa dia mencintaiku. Dia tidak pernah mengatakan aku cinta kamu, dia tidak pernah mengatakan aku sayang kamu, dan dia tidak pernah mengatakan aku membutuhkan kamu, kepadaku. Apa aku marah? Tidak. Apa aku menuntut dia untuk melakukan itu? Tidak. Bagaimana aku bisa tau dia mencintaiku, menyayangiku, dan membutuhkanku di hidupnya? Dia selalu memperlakukanku dengan istimewa, tatap matanya seolah berkata agar aku jangan pernah pergi dari sisinya. Dia memperhatikanku lebih, ketika aku sakit, meski hanya sekadar flu ringan. Dia selalu menyuruhku tidu

Pernikahan Antara "Pikiran dan Perasaan" Saya di Wattpad

Di bulan Desember tahun 2017 yang lalu pikiran dan perasaan saya telah menikah, otak dan hati saya meminta restu kepada diri saya sendiri bahwa mereka akan mulai "hidup bersama", meskipun terkadang mereka selalu bertentangan, tidak sejalan, dan banyak ributnya. Tanpa ada pertimbangan saya merestui otak dan hati saya untuk menikah, ya, akhirnya di akhir tahun 2017 pikiran dan perasaan saya memberanikan diri untuk menikah, dan mereka memilih Wattpad sebagai rumah pertama. Saya menulis tulisan ini di penghujung tahun 2020, tahun yang beberapa tahun ke depan akan saya kenang sebagai tahun yang penuh haha-hihi dan kepusingan diri. Penghujung tahun? Ya, di penghujung tahun ini pasangan pikiran dan perasaan saya telah menjalani pernikahan selama tiga tahun. Di tahun ketiga pernikahan mereka telah memiliki lima anak. Mau saya sebutin satu per satu dari mereka? Nggak cuma namanya yang bakalan saya sebutin, karakter dan alasan mereka hadir juga akan saya omongin  deh. Selamat mengenal