Langsung ke konten utama

Serupa Aku

Aku adalah serupa aku. Aku titahan sang bumi tuk menjalani lakon-lakon. Aku diberi pilihan, menjadi aku atau bukan aku. Tapi kutanya, memangnya AKU seperti apa? Sebab menjadi yang BUKAN AKU lebih mudah, kulakukan. Hingga aku lupa dengan aku yang sebenarnya. - Shofi MI

Di Balik Tawa dan Rasa: Kisah Dari Hanggia (1)


"Semesta, aku sangat mencintai Abimana. Tapi, rasanya dunia terlalu nyata untuk kita. Biarlah dia hidup dalam kepalaku saja. Kalau boleh, sampaikan ke Tuhan, tolong jaga dia. Katakan lewat mimpinya, aku akan selalu ada kapanpun dia membutuhkanku."

Sedari tadi aku senyum-senyum sendiri sambil menulis sebuah surat, tentang perasaanku kepada seorang laki-laki bernama Abimana. 

Surat ini sebenarnya persis seperti permohonan kepada Tuhan, permintaan dan pengungkapan keinginan, atau kalian menyebutnya: doa. Surat ini kutujukan kepada Tuhan, yang membuat aku dan Abimana hadir ke dunia, lalu kami bertemu di satu sekolah, bahkan di satu kelas. 

Surat ini kukirimkan melalui perantara semesta, nanti ia kirimkan kepada Tuhan. Katanya, kalau permintaan kita ingin dikabulkan, harus membuat Tuhan senang, kuharap Tuhan senang atas permintaanku dan caraku meminta kepada-Nya. 

Ah, kalian tidak romantis, pasti kalian berpikir, kenapa tidak langsung saja meminta dan berucap kepada Tuhan, tanpa menuliskannya lewat sebuah surat? Tapi, aku maunya seperti ini, bagaimana? Supaya suatu saat jika permintaanku dikabulkan oleh Tuhan, aku memiliki bukti kepada Abimana bahwa aku pernah meminta dirinya untuk selamanya hadir di hidupku, dan nanti Abimana berkata, "Jadi benar kamu pernah memintaku kepada Tuhan? Iya deh, aku percaya. Selamat ya, permintaanmu dikabulkan."

"Hayo! Lagi ngapain?"

"Kamu bikin aku kaget aja."

"Nulis tugas?"

"Bukan, ini lebih bernilai dari tugas."

"Apa dong?"

"Enggak usah nanya, jangan kepo."

"Catatan keuangan kelas kita?"

"Bukan."

"Catatan... PR yang harus dikerjain?"

"Bukaaannn."

"Daftar belanjaan nanti minggu?"

"Bukan, kamu aneh, masa aku bikin daftar belanjaan, memangnya aku ibu-ibu."

"Oh! Jangan-jangan..."

"Apa?"

"Catatan hutang kamu ke ibu kantin."

"Enggak lucu. Pantesan kamu enggak lolos audisi stand up comedy. Garing."

"Gi..."

"Iya deh, maaf," ucapku sambil tertawa, melihat wajah Abimana yang terlihat kesal karena aku mengungkit kesedihannya.

"Aku bakalan buktiin sama kamu, audisi stand up comedy yang selanjutnya, aku pasti lolos. Tunggu aja."

"Belum apa-apa, sudah sombong."

"Bukan sombong, Gi. Aku minta didoakan."

"Doa siapa?"

"Doa ibu."

"Garing!"

"Ya, doa kamu, Hanggia. Aku, kan, lagi ngomong sama kamu."

Jangan ditanya bagaimana perasaanku, sudah pasti ingin melakukan selebrasi, jingkrak-jingkrak, melompat-lompat, berteriak, bahkan memeluk siapa saja yang ada di dekatku. Eh, tapi yang sekarang ada di dekatku, kan, Abimana. Sudah, kutahan saja, biar nanti aku melampiaskannya di rumah sendirian.

Lihat, bagaimana aku tidak mencintai laki-laki ini? Meskipun lawakannya selalu garing, tapi tetap saja aku tertawa, dan aku merasa senang dibuat tertawa olehnya, seolah kesedihan tidak sudi menghampiriku.

***

Hai, ini cerita pertama yang aku tulis di blog, ternyata asik juga ya nulis di blog, jadi ketagihan, berasa punya rumah sendiri, hahaha.

Terima kasih udah mampir ke tulisan aku dan baca cerita ini. Lanjut ke part 2 yuk!

Salam hangat, semoga selalu sehat.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Di Balik Tawa dan Rasa: Kisah Dari Hanggia (10 - SELESAI)

Abimana mengadang langkahku yang akan berjalan ke luar kelas. Dia tersenyum lebar di hadapanku yang sedang malas menatapnya. "Gi, mau tau enggak?" "Apa?" "Aku, pacaran sama Gantari." "Iya?" "Iya, Gi. Enggak percaya?" "Enggak." Abimana menatapku, sementara aku berusaha agar tidak menunjukkan rasa kecewa. Aku sengaja menyangkal dengan berkata tidak memercayainya, padahal aku tahu di dunia ini tidak ada yang mustahil, apalagi Abimana dan Gantari terlihat saling menyukai. "Gi, mau ke mana?" "Perpus." Kali ini Abimana tidak menghalangi langkahku. Aku berjalan sendirian ke perpustakaan, padahal sebelumnya aku berniat untuk pergi ke kantin. Tapi, sepertinya aku membutuhkan ketenangan. "Gi?" "Abimanyu, kok ada di sini?" "Mau pinjem buku. Kamu juga?" "Enggak, mau duduk aja di sana." Abimanyu mengangguk, pandangan matanya mengikuti arah jari telunjukku. "Mau ak...

Di Balik Tawa dan Rasa: Kisah Dari Hanggia (2)

Ibuku berlari dan membuka pintu kamar ketika mendengar aku berteriak. Seketika aku memberhentikan aksi selebrasiku yang tentu saja mengundang berisik di dalam rumah. Aku mengerti tatapan mata ibu, seakan bertanya kenapa. Aku hanya menyengir dan menggelengkan kepala, lantas ibu pergi lagi sambil menutup pintu kamarku. "Gi, aku mau ikut audisi stand up comedy , mau dengerin dulu enggak?" "Dengerin apa?" "Lawakanku. Hitung-hitung latihan di depan kamu, sebelum tampil di depan juri." "Ya udah, panggung dipersilakan," ucapku sambil menutup buku catatan. "Lucu, lumayan." Abimana bertepuk tangan sambil tertawa. Kemudian dia menunjukku, seketika aku menunjuk diriku sendiri. "Apanya yang lucu Bim?"   tanyaku. "Barusan, ah udah, lupakan." "Jadi enggak nih?" Abimana menarik napas, mengembuskannya pelan. Bibirnya komat-kamit, bukan baca mantra, ia membaca doa. Dia menatapku dan tersenyum, kemudian mengepal...

Di Balik Tawa dan Rasa: Kisah Dari Hanggia (6)

Kedatangan Abimana menghentikan langkahku. Dia tampak lunglai dan tidak bersemangat. Tapi, dia enggak membawa motor seperti biasanya, kalau enggak salah barusan aku lihat dia diantar oleh Abimanyu. Aku mempercepat langkah dan menyusul Abimana yang sudah memasuki gerbang sekolah. "Bim? Are you okay ?" " No, Gi," jawab Abimana sambil menatapku dan tersenyum. Tapi, senyuman itu bukanlah senyuman milik Abimana yang biasa dia berikan untukku. "Kenapa?" Abimana tidak menjawab, dia masih berjalan di sampingku. "Tadi kamu diantar Abimanyu? Memangnya dia enggak sekolah?"  Abimana terdiam. Aku dan dia saling berhadapan di salah satu koridor sekolah. "Mulai besok adikku sekolah di sini, Gi." "Pindah?" "Iya." "Bukannya kamu harusnya seneng ya, Bim? Kan, kamu jadi enggak sendirian." "Ibuku mau menikah lagi, Gi. Adikku enggak mau tinggal sama ayah tirinya, jadi dia pengin tinggal di sini sama aku dan aya...