Aku adalah serupa aku. Aku titahan sang bumi tuk menjalani lakon-lakon. Aku diberi pilihan, menjadi aku atau bukan aku. Tapi kutanya, memangnya AKU seperti apa? Sebab menjadi yang BUKAN AKU lebih mudah, kulakukan. Hingga aku lupa dengan aku yang sebenarnya. - Shofi MI
"Semesta, aku sangat mencintai Abimana. Tapi, rasanya dunia terlalu nyata untuk kita. Biarlah dia hidup dalam kepalaku saja. Kalau boleh, sampaikan ke Tuhan, tolong jaga dia. Katakan lewat mimpinya, aku akan selalu ada kapanpun dia membutuhkanku."
Sedari tadi aku senyum-senyum sendiri sambil menulis sebuah surat, tentang perasaanku kepada seorang laki-laki bernama Abimana.
Surat ini sebenarnya persis seperti permohonan kepada Tuhan, permintaan dan pengungkapan keinginan, atau kalian menyebutnya: doa. Surat ini kutujukan kepada Tuhan, yang membuat aku dan Abimana hadir ke dunia, lalu kami bertemu di satu sekolah, bahkan di satu kelas.
Surat ini kukirimkan melalui perantara semesta, nanti ia kirimkan kepada Tuhan. Katanya, kalau permintaan kita ingin dikabulkan, harus membuat Tuhan senang, kuharap Tuhan senang atas permintaanku dan caraku meminta kepada-Nya.
Ah, kalian tidak romantis, pasti kalian berpikir, kenapa tidak langsung saja meminta dan berucap kepada Tuhan, tanpa menuliskannya lewat sebuah surat? Tapi, aku maunya seperti ini, bagaimana? Supaya suatu saat jika permintaanku dikabulkan oleh Tuhan, aku memiliki bukti kepada Abimana bahwa aku pernah meminta dirinya untuk selamanya hadir di hidupku, dan nanti Abimana berkata, "Jadi benar kamu pernah memintaku kepada Tuhan? Iya deh, aku percaya. Selamat ya, permintaanmu dikabulkan."
"Hayo! Lagi ngapain?"
"Kamu bikin aku kaget aja."
"Nulis tugas?"
"Bukan, ini lebih bernilai dari tugas."
"Apa dong?"
"Enggak usah nanya, jangan kepo."
"Catatan keuangan kelas kita?"
"Bukan."
"Catatan... PR yang harus dikerjain?"
"Bukaaannn."
"Daftar belanjaan nanti minggu?"
"Bukan, kamu aneh, masa aku bikin daftar belanjaan, memangnya aku ibu-ibu."
"Oh! Jangan-jangan..."
"Apa?"
"Catatan hutang kamu ke ibu kantin."
"Enggak lucu. Pantesan kamu enggak lolos audisi stand up comedy. Garing."
"Gi..."
"Iya deh, maaf," ucapku sambil tertawa, melihat wajah Abimana yang terlihat kesal karena aku mengungkit kesedihannya.
"Aku bakalan buktiin sama kamu, audisi stand up comedy yang selanjutnya, aku pasti lolos. Tunggu aja."
"Belum apa-apa, sudah sombong."
"Bukan sombong, Gi. Aku minta didoakan."
"Doa siapa?"
"Doa ibu."
"Garing!"
"Ya, doa kamu, Hanggia. Aku, kan, lagi ngomong sama kamu."
Jangan ditanya bagaimana perasaanku, sudah pasti ingin melakukan selebrasi, jingkrak-jingkrak, melompat-lompat, berteriak, bahkan memeluk siapa saja yang ada di dekatku. Eh, tapi yang sekarang ada di dekatku, kan, Abimana. Sudah, kutahan saja, biar nanti aku melampiaskannya di rumah sendirian.
Lihat, bagaimana aku tidak mencintai laki-laki ini? Meskipun lawakannya selalu garing, tapi tetap saja aku tertawa, dan aku merasa senang dibuat tertawa olehnya, seolah kesedihan tidak sudi menghampiriku.
***
Hai, ini cerita pertama yang aku tulis di blog, ternyata asik juga ya nulis di blog, jadi ketagihan, berasa punya rumah sendiri, hahaha.
Terima kasih udah mampir ke tulisan aku dan baca cerita ini. Lanjut ke part 2 yuk!
Salam hangat, semoga selalu sehat.
semangattt 😋
BalasHapusNama karakternya tidak mainstream ya, bikin khas😍
BalasHapusYaa harus membuat tuhan senang:)
BalasHapus:")
BalasHapus