Langsung ke konten utama

Serupa Aku

Aku adalah serupa aku. Aku titahan sang bumi tuk menjalani lakon-lakon. Aku diberi pilihan, menjadi aku atau bukan aku. Tapi kutanya, memangnya AKU seperti apa? Sebab menjadi yang BUKAN AKU lebih mudah, kulakukan. Hingga aku lupa dengan aku yang sebenarnya. - Shofi MI

Jika Kau Tidak Bahagia, Aku Juga - Senandika

Sudah berapa kali kau mengatakan dia selalu bersikap dingin, dan sudah berapa kali juga kulihat kau menangis karena dia yang tidak pernah merasa bahagia memilikimu. Aku enggan ikut campur, meski sebenarnya mau-mau saja. Untuk memberi pelajaran kepada dia yang tidak pernah menghargai kehadiran seseorang di sisinya. Andai naluriku terlalu berani, ingin sekali kukatakan kepada kekasihmu bahwa ada seseorang di sini yang ingin menggantikan posisinya untuk bersamamu.

Di hari minggu ini yang seharusnya membuatku pergi untuk berkumpul bersama teman-teman, lantas urung karena dirimu datang. Kau memintaku untuk mendengarkan keluhanmu seperti biasa.

Raga ingin menolak untuk mendengarkanmu, tetapi batin selalu mengalahkannya. Kutelepon beberapa temanku dan mengirimkan pesan kepada mereka bahwa rencana kumpul-kumpul yang sedari satu minggu lalu sudah kami rencanakan, aku tidak bisa datang dan duduk di salah satu kursi di antara mereka. Kubilang pada mereka bahwa ada hal mendesak yang tidak bisa kutinggalkan. Sepenting itulah engkau di hidupku, andai kau tahu itu.

"Kamu mau jalan?" tanyamu, seakan menyadari pakaianku yang sudah rapi dan bermain ponsel untuk mengabari teman-teman. Aku hanya menggeleng dan tersenyum kepadamu. 

"Nggak jadi," jawabku.

"Kalau mau pergi gak apa-apa kok, aku bisa pulang sekarang," katamu sembari menunjukkan raut wajah tidak enak. Kau menyuruhku pergi, tapi raut wajahmu seakan berharap aku agar tetap di sini.

Aku tidak ingin membuat kesedihanmu semakin bertambah. Sudah jelas tangis di wajahmu muncul karena dia, dan aku tidak ingin setetes air mata jatuh di wajahmu lagi hanya karena kau kecewa tidak mau kudengarkan.

Semakin sering kita mendengarkan masalah yang sama pada curhatan yang sama, semakin bingung untuk memberi solusi bagaimana. Setidaknya itulah yang terjadi padaku ketika lagi-lagi kau mengatakan dia yang tidak menghargaimu. Namun, meski bukan kekasihmu, aku selalu tahu cara mengembalikan senyuman di wajahmu.

"Mau jalan-jalan nggak? Daripada di sini sedih-sedih terus," ucapku. Engkau tidak lantas mengiyakan, seakan ada sesuatu yang mengganjal dan tidak seperti biasanya. Tetapi pada akhirnya kau tidak pernah menolak ajakanku. 

Pilihanku untuk membatalkan bertemu teman-teman dan memilih jalan berdua bersamamu ternyata bukanlah pilihan yang salah. Aku sudah lama tidak melihat senyuman dan tawa itu lagi di wajahmu, tepatnya setelah kau memiliki hubungan dengannya, kau tidak pernah seceria sekarang. Meski aku hanya sahabatmu, tapi kuyakin ketika kau bersedih, aku lebih tahu cara mengatasi kesedihanmu dibanding dia, kekasihmu. 

Bagiku, membuatmu bahagia amatlah mudah. Lihat saja sekarang, kau hanya perlu kuputarkan lagu dari band kesukaanmu di perjalanan kita menuju suatu tempat (ya, karena aku masih tidak tahu akan membawamu kemana saat ini), kau ikut bernyanyi, bahkan telingaku sampai sakit karena suaramu tidak bagus-bagus amat, tapi tidak apa, yang penting kau bahagia dan melupakan dia.

"Nggak usah kemana-mana deh, kita keliling aja lihatin jalanan," ucapmu secara tiba-tiba, di sela berakhirnya lagu berjudul Anugerah Terindah Yang Pernah Kumiliki, kau seakan mengerti yang ada di dalam kepalaku, yang bingung akan membawamu pergi ke mana.

Jika Tuhan memperbolehkanku untuk kepedean, sebenarnya firasatku mengatakan bahwa kau adalah seseorang yang nanti akan bersamaku hingga akhir usia. Selalu banyak kesamaan di antara kita, seakan batin kita terhubung untuk saling mengerti tanpa harus mengeluarkan kata-kata terlebih dahulu. Seperti barusan, kau bisa mengetahui kebingunganku.

"Aku bahagia deh sama kamu," ungkapmu sambil mengurangi volume lagu yang sedang mengalun di antara kita. "Biasa aja kali, maksudnya, aku bahagia punya sahabat kayak kamu." Kau tertawa melihat mimik wajahku yang menahan rona. Tidak apa aku harus menahan malu, asal kau tertawa, dan aku penyebabnya.

Sederhananya, kau adalah seseorang yang aku cintai. Jika kau bahagia, aku juga. Jika kau tidak bahagia, aku juga. 

("Jika Kau Tidak Bahagia, Aku Juga" - Shofi MI)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Serupa Aku

Aku adalah serupa aku. Aku titahan sang bumi tuk menjalani lakon-lakon. Aku diberi pilihan, menjadi aku atau bukan aku. Tapi kutanya, memangnya AKU seperti apa? Sebab menjadi yang BUKAN AKU lebih mudah, kulakukan. Hingga aku lupa dengan aku yang sebenarnya. - Shofi MI

Pernikahan Antara "Pikiran dan Perasaan" Saya di Wattpad

Di bulan Desember tahun 2017 yang lalu pikiran dan perasaan saya telah menikah, otak dan hati saya meminta restu kepada diri saya sendiri bahwa mereka akan mulai "hidup bersama", meskipun terkadang mereka selalu bertentangan, tidak sejalan, dan banyak ributnya. Tanpa ada pertimbangan saya merestui otak dan hati saya untuk menikah, ya, akhirnya di akhir tahun 2017 pikiran dan perasaan saya memberanikan diri untuk menikah, dan mereka memilih Wattpad sebagai rumah pertama. Saya menulis tulisan ini di penghujung tahun 2020, tahun yang beberapa tahun ke depan akan saya kenang sebagai tahun yang penuh haha-hihi dan kepusingan diri. Penghujung tahun? Ya, di penghujung tahun ini pasangan pikiran dan perasaan saya telah menjalani pernikahan selama tiga tahun. Di tahun ketiga pernikahan mereka telah memiliki lima anak. Mau saya sebutin satu per satu dari mereka? Nggak cuma namanya yang bakalan saya sebutin, karakter dan alasan mereka hadir juga akan saya omongin  deh. Selamat mengenal ...

Di Balik Tawa dan Rasa: Kisah Dari Hanggia (10 - SELESAI)

Abimana mengadang langkahku yang akan berjalan ke luar kelas. Dia tersenyum lebar di hadapanku yang sedang malas menatapnya. "Gi, mau tau enggak?" "Apa?" "Aku, pacaran sama Gantari." "Iya?" "Iya, Gi. Enggak percaya?" "Enggak." Abimana menatapku, sementara aku berusaha agar tidak menunjukkan rasa kecewa. Aku sengaja menyangkal dengan berkata tidak memercayainya, padahal aku tahu di dunia ini tidak ada yang mustahil, apalagi Abimana dan Gantari terlihat saling menyukai. "Gi, mau ke mana?" "Perpus." Kali ini Abimana tidak menghalangi langkahku. Aku berjalan sendirian ke perpustakaan, padahal sebelumnya aku berniat untuk pergi ke kantin. Tapi, sepertinya aku membutuhkan ketenangan. "Gi?" "Abimanyu, kok ada di sini?" "Mau pinjem buku. Kamu juga?" "Enggak, mau duduk aja di sana." Abimanyu mengangguk, pandangan matanya mengikuti arah jari telunjukku. "Mau ak...