Langsung ke konten utama

Serupa Aku

Aku adalah serupa aku. Aku titahan sang bumi tuk menjalani lakon-lakon. Aku diberi pilihan, menjadi aku atau bukan aku. Tapi kutanya, memangnya AKU seperti apa? Sebab menjadi yang BUKAN AKU lebih mudah, kulakukan. Hingga aku lupa dengan aku yang sebenarnya. - Shofi MI

Di Balik Tawa dan Rasa: Kisah Dari Hanggia (8)


Aku tidak ingin kehilangan Abimana hanya karena dia dekat dengan sepupuku. Kalau perlu bersaing, aku bersedia, agar aku tidak kehilangan Abimana, sahabat laki-lakiku yang selama ini kucintai. Lagipula, Gantari dan Abimana baru saling kenal, mereka tidak akan terlalu jauh menjalin hubungan, semoga.

Cuaca hari ini cukup mendung, menurut info ramalan cuaca, nanti sore akan turun hujan. Aku akan menebeng kepada Abimana lagi jika nanti turun hujan. Kabar baik, semenjak kami kehujanan hari lalu, Abimana selalu membawa dua jas hujan, katanya satu untukku dan satu untuknya.

"Gi!"

"Apa Bim?"

"Gantari baik, ya."

"Iya."

"Kamu penasaran, kan? Kenapa aku bisa deket sama dia?"

"Ya, kenapa?"

"Jaman sekarang udah canggih, Gi. Aku stalking Gantari, berhasil tukeran nomor."

"Segitunya?"

"Ini namanya perjuangan, Gi."

"Mudah banget perjuangannya, cuma stalking, langsung tukeran nomor."

"Dia enggak meragukan aku, karena dia tau aku sahabat kamu dan sering datang ke rumahmu."

"Ya, ya, bagus deh."

Sepanjang kaki kami melangkah menuju kelas, sikap Abimana tidak seperti biasanya, dia lebih ceria dibanding sebelum-sebelumnya. Ya, aku tahu meskipun ini menyakitkan, alasan kebahagiaan Abimana hari ini adalah Gantari, perempuan yang sedang dia sukai.

Ramalan cuaca benar terjadi, langit sudah mendung, pertanda sebentar lagi akan turun hujan. Aku melihat Abimana dan Abimanyu sedang berjalan ke parkiran sekolah, karena takut ketinggalan, aku menyusul Abimana.

"Bim!"

"Apa Gi?"

"Pulangnya bareng, dong."

"Gimana ya? Gi, aku udah janji sama Gantari, mau jemput dia di kampusnya sekarang."

"Hah?"

"Iya, Gi, maaf banget ya, kali ini aja."

Aku menatap Abimana dengan perasaan kecewa. Sementara Abimana memasang raut wajah tidak enak. 

"Pulang bareng aku aja, gimana?" 

"Nah! Bener, daripada nanti kamu kehujanan pas turun dari angkot. Mending sama Abimanyu," ucap Abimana.

"Enggak apa-apa deh, aku naik angkot aja, makasih, ya."

Aku berbalik badan meninggalkan mereka berdua, tapi Abimana mengejarku dan menghalangi langkahku.

"Sama adikku aja, Gi."

"Enggak mau."

"Kenapa?"

"Ya, aku enggak mau."

"Sebentar lagi hujan Gi, ayolah, adikku nungguin kamu."

"Aku enggak mau, Bim."

"Kenapa? Kamu enggak boleh gitu, dia saudaraku, Gi. Ayolah, kalian juga harus saling kenal, kan?"

Aku menyerah dan menuruti permintaan Abimana. Kami berjalan ke parkiran lagi, menghampiri Abimanyu yang memang sedang menungguku.

"Antar sampai rumahnya, ya," ucap Abimana kepada Abimanyu.

"Iya, tenang aja, Kak."

"Ini jas hujanku, kamu bawa, kalau nanti hujan, berhenti dulu, pakai jas hujannya, jangan sampai Hanggia kehujanan, ok?"

Abimanyu mengangguk sambil tersenyum. Dia memang lebih kalem dibanding Abimana, dan sepertinya ia penurut.

Ramalan cuaca ternyata salah, selama perjalanan pulang dan setibanya di rumahku sama sekali tidak turun hujan. Abimanyu mengantarku sampai di depan rumah, kutawari untuk mampir, tetapi ia menolak.

"Ibu?"

Aku melihat ibu keluar dari dalam rumah, mungkin ia pulang lebih awal dari kantornya, tidak bekerja lembur.

"Abimana? Tumben enggak mampir dulu."

"Saya Abimanyu, Bu."

"Oh, Ibu kira Abimana, maaf ya, habisnya mirip banget. Mampir dulu, ayolah."

"Enggak apa-apa, Bu, saya langsung pulang aja."

"Dilarang nolak Ibu, ayo mampir dulu, Ibu pengin kenalan sama kamu. Masa, kakakmu aja sering mampir ke sini, kamu enggak?"

Abimanyu melirikku. Aku mengangguk agar ia menuruti permintaan ibu untuk sekadar mampir.

"Gi, buatkan teh hangat, ya."

"Jangan repot-repot, Bu."

"Enggak merepotkan, duduk dulu."

Sementara ibu berkenalan dengan Abimanyu, aku pergi ke dapur untuk membuatkan teh hangat. Melihat gula yang penuh dalam toples, lantas aku mengambil sendok untuk menambahkan sedikit gula ke dalam teh. Tapi, ini bukan Abimana, pikirku.

"Diminum teh nya."

"Iya, makasih, Gi."

Ibu pergi ke dalam rumah, seakan memberikan ruang kepadaku untuk mengobrol dengan Abimanyu.

"Kamu, suka teh tawar?" tanyaku.

"Suka."

"Enggak seperti Abimana, ya?"

"Iya, dia dari kecil memang suka makanan dan minuman yang manis, enggak tau kenapa," jelas Abimanyu sambil menyeruput teh hangat untuk yang kedua kalinya.

"Kalau kamu?"

"Aku enggak terlalu suka yang manis. Jadi, teh tawar bisa jadi alternatif lain ketika aku lagi enggak mau minum air putih."

Abimanyu tertawa, aku juga.

"Padahal, tadi aku hampir mau tambahin gula," ucapku.

"Oh ya? Berarti feeling kamu bagus dong."

"Lumayan."

"Makasih ya, Gi. Tapi, kalau kamu tambahin gula juga bakalan tetep aku minum."

"Kenapa? Kamu kan, enggak suka."

"Enggak suka, bukan berarti enggak menghargai orang lain, kan?"

Abimanyu tersenyum, dan aku mengangguk menyetujui ucapannya. Benar, Abimanyu lebih kalem dibanding Abimana, dan tatapan matanya lebih teduh.

"Bim..."

"Ya, Gi?"

"Makasih ya, udah antar aku pulang."

"Sama-sama, makasih juga."

"Untuk?"

"Teh tawarnya."

Aku dan Abimanyu tertawa bersamaan. Meskipun dia amat kalem, tapi tidak membuat lawan bicaranya merasa canggung. Dan, dia juga bisa membuatku tertawa, ternyata.

"Nanti kalau kakakku enggak bisa bareng kamu, kamu bisa sama aku kok, enggak perlu sungkan, Gi."

"Iya Bim."

"Oh ya, kamu udah punya nomorku?"

"Belum. Emangnya kenapa?"

"Nanti aku hubungi. Sekarang baterai ponselku habis. Biar nanti kalau mau pulang atau berangkat bareng, kamu bisa hubungi aku."

"Udah punya nomorku?"

"Belum, nanti minta ke kakakku."

Aku bangkit dari sofa dan pergi ke kamar. Kuambil kertas dan kutulis nomor ponselku. Aku kembali ke ruang tamu dan mendapati wajah Abimanyu yang kebingungan.

"Ini nomorku, jangan minta ke kakakmu."

Abimanyu tertawa dan mengangguk. Dia mengambil kertas dariku.

"Makasih, nanti aku hubungi."

"Ya."

"Gi, boleh panggil ibumu?"

"Kenapa?"

"Aku mau pamit pulang, udah sore."

"Tunggu ya."

Aku berjalan ke dalam rumah, mencari ibu ke kamarnya, tidak ada, mencari ke dapur, tidak ada juga, ternyata ibu ada di halaman belakang sedang menyiram tanaman.

"Bu?"

"Iya, sayang, kenapa?"

"Abimanyu mau pamit pulang, udah sore."

Ibu tersenyum dan berjalan cepat untuk menemui laki-laki itu. Setelah berpamitan kepada ibu dan aku, Abimanyu langsung pergi dengan menumpangi motornya. Sebelum berlalu meninggalkan halaman rumahku, dia berkata lagi akan menghubungiku nanti lewat telepon. 

***

Lanjut part 9 yuk? Sebentar lagi tamat nih, semangat!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Di Balik Tawa dan Rasa: Kisah Dari Hanggia (10 - SELESAI)

Abimana mengadang langkahku yang akan berjalan ke luar kelas. Dia tersenyum lebar di hadapanku yang sedang malas menatapnya. "Gi, mau tau enggak?" "Apa?" "Aku, pacaran sama Gantari." "Iya?" "Iya, Gi. Enggak percaya?" "Enggak." Abimana menatapku, sementara aku berusaha agar tidak menunjukkan rasa kecewa. Aku sengaja menyangkal dengan berkata tidak memercayainya, padahal aku tahu di dunia ini tidak ada yang mustahil, apalagi Abimana dan Gantari terlihat saling menyukai. "Gi, mau ke mana?" "Perpus." Kali ini Abimana tidak menghalangi langkahku. Aku berjalan sendirian ke perpustakaan, padahal sebelumnya aku berniat untuk pergi ke kantin. Tapi, sepertinya aku membutuhkan ketenangan. "Gi?" "Abimanyu, kok ada di sini?" "Mau pinjem buku. Kamu juga?" "Enggak, mau duduk aja di sana." Abimanyu mengangguk, pandangan matanya mengikuti arah jari telunjukku. "Mau ak...

Di Balik Tawa dan Rasa: Kisah Dari Hanggia (2)

Ibuku berlari dan membuka pintu kamar ketika mendengar aku berteriak. Seketika aku memberhentikan aksi selebrasiku yang tentu saja mengundang berisik di dalam rumah. Aku mengerti tatapan mata ibu, seakan bertanya kenapa. Aku hanya menyengir dan menggelengkan kepala, lantas ibu pergi lagi sambil menutup pintu kamarku. "Gi, aku mau ikut audisi stand up comedy , mau dengerin dulu enggak?" "Dengerin apa?" "Lawakanku. Hitung-hitung latihan di depan kamu, sebelum tampil di depan juri." "Ya udah, panggung dipersilakan," ucapku sambil menutup buku catatan. "Lucu, lumayan." Abimana bertepuk tangan sambil tertawa. Kemudian dia menunjukku, seketika aku menunjuk diriku sendiri. "Apanya yang lucu Bim?"   tanyaku. "Barusan, ah udah, lupakan." "Jadi enggak nih?" Abimana menarik napas, mengembuskannya pelan. Bibirnya komat-kamit, bukan baca mantra, ia membaca doa. Dia menatapku dan tersenyum, kemudian mengepal...

Kita Sering Tidak Sadar Diri - Senandika

Balas demi balas kukirimkan bersama keraguan. Pikiran minta menyudahi, namun hati bergerak sendiri. Berulang kali kuminta untuk kau sudahi, supaya kau yang selama ini membingungkan diri tidak terbawa perasaan lagi oleh dia yang kau anggap segalanya. Memang benar, tegas terhadap diri sendiri lebih sulit, meminta kepada diri sendiri lebih susah untuk dilakukan. Apalagi jika hal yang menyangkut dengan cinta dan perasaan. Seakan orang yang ingin menyuruh kau berhenti dari segala rasa sakit bukan lagi terdengar seperti dukungan, tapi kau anggap sebagai cara tuk memisahkan. "Aku harus gimana lagi ya?" tanyamu dengan tatap penuh harap, berharap aku memberi solusi dan pengampunan terhadap dia yang selalu menyakiti dirimu berulang kali. "Ya, mau gimana lagi? Semuanya udah jelas kan? Dia sering nyakitin kamu." Entah hatimu dilapisi selimut setebal apa sampai sikap dinginnya dia kepadamu tidak lagi terasa, dan malah kau anggap biasa. Di saat kubela hatimu agar tetap u...