Aku adalah serupa aku. Aku titahan sang bumi tuk menjalani lakon-lakon. Aku diberi pilihan, menjadi aku atau bukan aku. Tapi kutanya, memangnya AKU seperti apa? Sebab menjadi yang BUKAN AKU lebih mudah, kulakukan. Hingga aku lupa dengan aku yang sebenarnya. - Shofi MI
"Gi?"
"Ya, Bu?"
"Kamu, udah punya pacar belum?" tanya ibu sambil menyirami tanaman miliknya.
"Aku enggak mau pacaran."
"Mau fokus belajar dulu?"
"Iya, aku mau bahagiain Ibu dulu."
Ibu tertawa. "Ibu selama ini bahagia kok, enggak perlu repot-repot membahagiakan Ibu. Kebahagiaan kamu juga penting."
"Tapi kebahagiaan Ibu lebih penting."
"Ya udah, gimana kalau kita saling membahagiakan aja?"
"Ide bagus." Aku tertawa, dan melingkarkan jari kelingkingku kepada jari kelingking ibu.
Pandangan kami teralihkan saat sebuah motor memasuki halaman rumah. Abimana datang tanpa memberitahuku terlebih dahulu. Pakaiannya rapi sekali, tidak seperti biasanya, padahal kita enggak janjian untuk keluar.
"Bim? Ada apa ke sini?"
Abimana tidak menjawab, dia hanya tersenyum lebar sambil menunjuk ke satu arah. Gantari sedang berpamitan pergi kepada ibu.
"Gantari?"
"Iya, aku mau jalan sama dia, mumpung hari minggu."
"Sejak kapan kamu deket sama Gantari?"
Alih-alih menjawab, Abimana memakai helmnya sambil tertawa. Gantari menghampiri kami berdua, dia berpamitan kepadaku. Aku hanya membalas dengan anggukan dan senyuman tipis. Motor yang ditumpangi Abimana dan Gantari sudah melaju dan meninggalkan rumah kami.
Aku menghampiri ibu yang saat ini sedang berdiri memandangiku. Dia tersenyum, seakan mengerti perasaanku.
"Bu..."
Ibu memelukku sambil tersenyum. "Ya, anak Ibu sudah besar."
"Apa mereka pacaran Bu?"
"Memangnya Abimana enggak cerita sama kamu?"
Aku menggeleng.
"Kenapa mereka bisa kenal sejauh ini, Bu?"
"Gi, enggak apa-apa, kamu boleh sedih. Tapi, kamu harus inget, kamu kenal Abimana udah lama, jangan sampai persahabatan kalian berakhir karena kamu cemburu atas kedekatan mereka."
"Aku enggak cemburu."
"Yakin? Mau bohong sama Ibu?"
"Aku cuma iri."
"Hahaha. Masih mengelak."
"Ibu!"
"Hanggia, Ibu juga pernah muda lho, kamu jangan lupa."
"Ibu..."
Aku menahan malu di depan ibu yang terus menggodaku, dia berlari ke dalam rumah setelah aku merengek agar ia berhenti membicarakan soal perasaanku terhadap Abimana.
Aku yang mulanya ingin marah dan merasa sedih karena melihat kedekatan Abimana dengan Gantari, seketika menjadi biasa saja karena ibu menghiburku.
"Jangan jauhi Abimana karena tadi, nanti kamu kehilangan dia bukan karena Gantari, tapi karena keegoisan perasaan kamu sendiri."
Aku tertawa membaca tulisan dari ibu pada sebuah kertas yang ia taruh di meja belajarku. Ibu selalu bisa mengembalikan kebahagiaanku, dan menghapus kesedihanku. Aku menyayangi ibu lebih dari menyayangi diriku sendiri.
***
Alhamdulillah, udah sampai di part 7 nih, gimana, lanjut? Gaskeun di part 8 yuk!
Komentar
Posting Komentar