Langsung ke konten utama

Serupa Aku

Aku adalah serupa aku. Aku titahan sang bumi tuk menjalani lakon-lakon. Aku diberi pilihan, menjadi aku atau bukan aku. Tapi kutanya, memangnya AKU seperti apa? Sebab menjadi yang BUKAN AKU lebih mudah, kulakukan. Hingga aku lupa dengan aku yang sebenarnya. - Shofi MI

Di Balik Tawa dan Rasa: Kisah Dari Hanggia (7)


Hari minggu adalah hari yang paling aku tunggu, bukan karena liburnya. Tapi, di hari minggu aku bisa menghabiskan waktu seharian bersama ibu, tanpa ada pekerjaan ibu yang mengganggu.

"Gi?"

"Ya, Bu?"

"Kamu, udah punya pacar belum?" tanya ibu sambil menyirami tanaman miliknya.

"Aku enggak mau pacaran."

"Mau fokus belajar dulu?"

"Iya, aku mau bahagiain Ibu dulu."

Ibu tertawa. "Ibu selama ini bahagia kok, enggak perlu repot-repot membahagiakan Ibu. Kebahagiaan kamu juga penting."

"Tapi kebahagiaan Ibu lebih penting."

"Ya udah, gimana kalau kita saling membahagiakan aja?"

"Ide bagus." Aku tertawa, dan melingkarkan jari kelingkingku kepada jari kelingking ibu. 

Pandangan kami teralihkan saat sebuah motor memasuki halaman rumah. Abimana datang tanpa memberitahuku terlebih dahulu. Pakaiannya rapi sekali, tidak seperti biasanya, padahal kita enggak janjian untuk keluar.

"Bim? Ada apa ke sini?"

Abimana tidak menjawab, dia hanya tersenyum lebar sambil menunjuk ke satu arah. Gantari sedang berpamitan pergi kepada ibu.

"Gantari?"

"Iya, aku mau jalan sama dia, mumpung hari minggu."

"Sejak kapan kamu deket sama Gantari?"

Alih-alih menjawab, Abimana memakai helmnya sambil tertawa. Gantari menghampiri kami berdua, dia berpamitan kepadaku. Aku hanya membalas dengan anggukan dan senyuman tipis. Motor yang ditumpangi Abimana dan Gantari sudah melaju dan meninggalkan rumah kami.

Aku menghampiri ibu yang saat ini sedang berdiri memandangiku. Dia tersenyum, seakan mengerti perasaanku.

"Bu..."

Ibu memelukku sambil tersenyum. "Ya, anak Ibu sudah besar."

"Apa mereka pacaran Bu?"

"Memangnya Abimana enggak cerita sama kamu?"

Aku menggeleng.

"Kenapa mereka bisa kenal sejauh ini, Bu?"

"Gi, enggak apa-apa, kamu boleh sedih. Tapi, kamu harus inget, kamu kenal Abimana udah lama, jangan sampai persahabatan kalian berakhir karena kamu cemburu atas kedekatan mereka."

"Aku enggak cemburu."

"Yakin? Mau bohong sama Ibu?"

"Aku cuma iri."

"Hahaha. Masih mengelak."

"Ibu!"

"Hanggia, Ibu juga pernah muda lho, kamu jangan lupa." 

"Ibu..."

Aku menahan malu di depan ibu yang terus menggodaku, dia berlari ke dalam rumah setelah aku merengek agar ia berhenti membicarakan soal perasaanku terhadap Abimana. 

Aku yang mulanya ingin marah dan merasa sedih karena melihat kedekatan Abimana dengan Gantari, seketika menjadi biasa saja karena ibu menghiburku.

"Jangan jauhi Abimana karena tadi, nanti kamu kehilangan dia bukan karena Gantari, tapi karena keegoisan perasaan kamu sendiri."

Aku tertawa membaca tulisan dari ibu pada sebuah kertas yang ia taruh di meja belajarku. Ibu selalu bisa mengembalikan kebahagiaanku, dan menghapus kesedihanku. Aku menyayangi ibu lebih dari menyayangi diriku sendiri.

***

Alhamdulillah, udah sampai di part 7 nih, gimana, lanjut? Gaskeun di part 8 yuk!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Di Balik Tawa dan Rasa: Kisah Dari Hanggia (10 - SELESAI)

Abimana mengadang langkahku yang akan berjalan ke luar kelas. Dia tersenyum lebar di hadapanku yang sedang malas menatapnya. "Gi, mau tau enggak?" "Apa?" "Aku, pacaran sama Gantari." "Iya?" "Iya, Gi. Enggak percaya?" "Enggak." Abimana menatapku, sementara aku berusaha agar tidak menunjukkan rasa kecewa. Aku sengaja menyangkal dengan berkata tidak memercayainya, padahal aku tahu di dunia ini tidak ada yang mustahil, apalagi Abimana dan Gantari terlihat saling menyukai. "Gi, mau ke mana?" "Perpus." Kali ini Abimana tidak menghalangi langkahku. Aku berjalan sendirian ke perpustakaan, padahal sebelumnya aku berniat untuk pergi ke kantin. Tapi, sepertinya aku membutuhkan ketenangan. "Gi?" "Abimanyu, kok ada di sini?" "Mau pinjem buku. Kamu juga?" "Enggak, mau duduk aja di sana." Abimanyu mengangguk, pandangan matanya mengikuti arah jari telunjukku. "Mau ak...

Di Balik Tawa dan Rasa: Kisah Dari Hanggia (2)

Ibuku berlari dan membuka pintu kamar ketika mendengar aku berteriak. Seketika aku memberhentikan aksi selebrasiku yang tentu saja mengundang berisik di dalam rumah. Aku mengerti tatapan mata ibu, seakan bertanya kenapa. Aku hanya menyengir dan menggelengkan kepala, lantas ibu pergi lagi sambil menutup pintu kamarku. "Gi, aku mau ikut audisi stand up comedy , mau dengerin dulu enggak?" "Dengerin apa?" "Lawakanku. Hitung-hitung latihan di depan kamu, sebelum tampil di depan juri." "Ya udah, panggung dipersilakan," ucapku sambil menutup buku catatan. "Lucu, lumayan." Abimana bertepuk tangan sambil tertawa. Kemudian dia menunjukku, seketika aku menunjuk diriku sendiri. "Apanya yang lucu Bim?"   tanyaku. "Barusan, ah udah, lupakan." "Jadi enggak nih?" Abimana menarik napas, mengembuskannya pelan. Bibirnya komat-kamit, bukan baca mantra, ia membaca doa. Dia menatapku dan tersenyum, kemudian mengepal...

Kita Sering Tidak Sadar Diri - Senandika

Balas demi balas kukirimkan bersama keraguan. Pikiran minta menyudahi, namun hati bergerak sendiri. Berulang kali kuminta untuk kau sudahi, supaya kau yang selama ini membingungkan diri tidak terbawa perasaan lagi oleh dia yang kau anggap segalanya. Memang benar, tegas terhadap diri sendiri lebih sulit, meminta kepada diri sendiri lebih susah untuk dilakukan. Apalagi jika hal yang menyangkut dengan cinta dan perasaan. Seakan orang yang ingin menyuruh kau berhenti dari segala rasa sakit bukan lagi terdengar seperti dukungan, tapi kau anggap sebagai cara tuk memisahkan. "Aku harus gimana lagi ya?" tanyamu dengan tatap penuh harap, berharap aku memberi solusi dan pengampunan terhadap dia yang selalu menyakiti dirimu berulang kali. "Ya, mau gimana lagi? Semuanya udah jelas kan? Dia sering nyakitin kamu." Entah hatimu dilapisi selimut setebal apa sampai sikap dinginnya dia kepadamu tidak lagi terasa, dan malah kau anggap biasa. Di saat kubela hatimu agar tetap u...