Langsung ke konten utama

Serupa Aku

Aku adalah serupa aku. Aku titahan sang bumi tuk menjalani lakon-lakon. Aku diberi pilihan, menjadi aku atau bukan aku. Tapi kutanya, memangnya AKU seperti apa? Sebab menjadi yang BUKAN AKU lebih mudah, kulakukan. Hingga aku lupa dengan aku yang sebenarnya. - Shofi MI

Di Balik Tawa dan Rasa: Kisah Dari Hanggia (3)


Hujan deras baru saja turun. Aku menggerutu sendiri, seakan menyalahkan guru yang baru saja selesai mengajar. Andai saja kelasku pulang tepat waktu, pasti sekarang aku sudah ada di rumah dan tidak akan menatap rintik hujan yang menghalangiku untuk pulang.

Aku melihat Abimana melipat ujung celananya hingga lutut. Tas yang ia gendong sudah dipasangi pelindung agar tidak kehujanan. Pasti dia akan menerobos hujan yang deras ini dan memaksakan diri untuk pulang.

"Wey!"

"Bim, ikut pulang dong, makin sore nih," pintaku dengan cemas, setelah melihat jam menunjukkan pukul setengah lima sore.

Abimana tidak langsung menjawab, dia menatap rintik hujan yang kini semakin deras mengguyur. "Nanti kamu kehujanan Gi, kalau bareng sama aku. Aku tungguin sampai dapet angkot aja, gimana?"

"Percuma, rumahku kan jauh dari jalan, Bim. Nanti juga pasti kehujanan pas turun dari angkot."

Abimana merenung sebentar, dia melihat sekitar, lalu berjalan ke salah satu temannya yang sedang mengeluarkan jas hujan. Mereka terlihat bercakap-cakap, kulihat tangan Abimana menunjuk ke arahku tanpa menoleh. 

"Bim, ngapain?" bisikku pada saat menghampiri Abimana. Laki-laki ini tidak menjawab, dia hanya saling melempar senyum dengan temannya, tapi di tangannya ada sebuah jas hujan.

"Yuk."

"Pulang?" tanyaku.

"Iya."

"Katanya tadi enggak mau bareng."

"Sekarang udah ada jas hujan, aku pinjam dari Dikta, kamu pakai, ya."

"Enggak usah Bim, aku enggak apa-apa kehujanan. Kasian Dikta, nanti dia pulangnya kehujanan, kasihin lagi ke dia jas hujannya, Bim."

"Rumah dia deket, Gi. Enggak apa-apa, aku juga pernah pinjemin dia jas hujan, sekarang lagi balas budi aja." Abimana menyengir.

Aku terdiam memandangi wajahnya yang masih tersenyum.

"Gi..."

Abimana menurunkan bahunya dan mengerlingkan kedua bola matanya. Jas hujan itu masih ia pegang, bahkan sudah siap untuk dipakai.

"Ya udah, sini."

"Nah, gitu dong."

Setibanya di rumah, aku menyuruh Abimana untuk masuk ke rumahku, sekadar mampir, bertemu ibu dan meminum teh hangat sebagai ucapan terima kasih karena mau mengantarku pulang sampai rumah.

"Boleh," jawab Abimana. Dia langsung memasukkan motornya ke pekarangan rumahku dan membuka jas hujannya.

"Aneh, di sini kok enggak hujan?"

"Enggak tahu."

"Ibumu ada di rumah?"

"Kalau enggak ada, aku enggak akan nyuruh kamu masuk."

"Mana?"

"Apa?"

"Ibumu."

"Sabar."

Aku terkekeh sambil membuka pintu, dan mengucap salam. Laki-laki yang sudah tidak asing bagi ibuku ini langsung terduduk di kursi ruang tamu. Sementara aku masuk ke dalam rumah untuk berganti pakaian dan menemui ibu.

"Kamu pulang sama siapa?" 

"Abim."

"Mana orangnya?"

"Di ruang tamu."

"Bikinin teh buat dia."

"Iya, ini mau."

"Enggak usah pakai gula."

"Kenapa?" Aku mengerutkan kening.

"Gulanya habis, ibu belum ke warung."

Aku mengangguk, tidak menjawab dengan kata-kata. Kulihat ibu berjalan ke ruang tamu, hendak menemui Abimana. Lantas, aku berjalan cepat ke dalam kamar, mengambil uang dari dompetku dan berlari ke pintu belakang rumah tanpa mengulur waktu.

"Lagi ngobrolin apa?" tanyaku kepada ibu dan Abimana, sembari menyuguhkan teh hangat untuk laki-laki itu.

Entah karena haus, atau memang tidak tahu malu, Abimana langsung menyambar secangkir teh yang hampir kutaruh di atas meja. Dia menyengir, sementara ibu hanya geleng-geleng kepala sambil tersenyum.

"Manisnya, pas," ucap Abimana.

Ibu menoleh kepadaku, seketika aku tersenyum dan menyengir. Ia hanya geleng-geleng kepala melihat anaknya yang sedang kasmaran.

Abimana tidak menyukai minuman yang tidak ada rasanya, kecuali air putih. Ketika aku menyuguhkan teh tawar, dia pasti tidak akan meminumnya. Jadi, kubeli saja gula seperempat di warung tadi sebelum memberikan teh hangat ini padanya.

Jika Abimana saja berkorban untuk meminjam jas hujan kepada temannya untukku, lantas, kenapa tidak? Untuk aku hanya menambahkan satu sendok gula ke dalam teh hangatnya, meski harus lari dulu ke warung. 

***

Wow! Sudah di part 3 nih! Ikutin terus ceritanya, dan lanjut ke part 4 yuk!
Btw, terima kasih udah mampir dan baca cerita aku. 
Salam hangat, semoga selalu sehat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketika Merasa Diri Enggak Baik - Perspektif

Ketika merasa hancur, ingat, banyak di luar sana yang lebih hancur, tapi enggak kelihatan, dan enggak semuanya harus diperlihatkan. Ketika merasa sedih, di luar juga banyak yang lebih sedih, tapi mereka berusaha tersenyum seolah enggak terjadi apa pun yang menyakitkan. Ketika merasa cengeng, di luar sana banyak orang yang sudah enggan menangis karena saking lelahnya. Keluarkan air mata, enggak ada salahnya dan bukan pertanda kelemahan. Ketika merasa sendirian, itu hanya pikiranmu saja, banyak orang di sekelilingmu yang peduli, hanya saja kamu enggak menyadari. Ketika merasa patah hati, banyak pasangan di luar sana yang jauh lebih patah darimu, tapi mereka berusaha terlihat utuh. Enggak selamanya sendiri berarti sepi, dan enggak selamanya berdua berarti merasa utuh. Ketika merasa duniamu enggak sebaik yang kamu harapkan, ini hidup. Bahkan dalam sebuah game pun selalu ada sialnya, apalagi dunia nyata. Hidup sudah Tuhan atur sedemikian rupa, mudahnya kita hanya tinggal menjal

Kisahku Bersama Seorang Lelaki Bernama Lupa - Cerita

Ini kisahku bersama seorang lelaki bernama Lupa. Dia adalah satu di antara lelaki-lelaki yang mendekatiku. Tetapi dia tidak pernah mempercayaiku kalau aku memilihnya karena ia berbeda. Dia selalu mengatakan, banyak lelaki yang lebih darinya. Lebih tampan, lebih kaya, lebih pintar, lebih pengertian, dan semua pembandingan diri ia ucapkan. Sudah kubilang, dia memang tidak mempunyai semua yang ada pada lelaki lain. Kau tau itu apa? Dia selalu lupa bahwa dia mencintaiku. Dia tidak pernah mengatakan aku cinta kamu, dia tidak pernah mengatakan aku sayang kamu, dan dia tidak pernah mengatakan aku membutuhkan kamu, kepadaku. Apa aku marah? Tidak. Apa aku menuntut dia untuk melakukan itu? Tidak. Bagaimana aku bisa tau dia mencintaiku, menyayangiku, dan membutuhkanku di hidupnya? Dia selalu memperlakukanku dengan istimewa, tatap matanya seolah berkata agar aku jangan pernah pergi dari sisinya. Dia memperhatikanku lebih, ketika aku sakit, meski hanya sekadar flu ringan. Dia selalu menyuruhku tidu

Pernikahan Antara "Pikiran dan Perasaan" Saya di Wattpad

Di bulan Desember tahun 2017 yang lalu pikiran dan perasaan saya telah menikah, otak dan hati saya meminta restu kepada diri saya sendiri bahwa mereka akan mulai "hidup bersama", meskipun terkadang mereka selalu bertentangan, tidak sejalan, dan banyak ributnya. Tanpa ada pertimbangan saya merestui otak dan hati saya untuk menikah, ya, akhirnya di akhir tahun 2017 pikiran dan perasaan saya memberanikan diri untuk menikah, dan mereka memilih Wattpad sebagai rumah pertama. Saya menulis tulisan ini di penghujung tahun 2020, tahun yang beberapa tahun ke depan akan saya kenang sebagai tahun yang penuh haha-hihi dan kepusingan diri. Penghujung tahun? Ya, di penghujung tahun ini pasangan pikiran dan perasaan saya telah menjalani pernikahan selama tiga tahun. Di tahun ketiga pernikahan mereka telah memiliki lima anak. Mau saya sebutin satu per satu dari mereka? Nggak cuma namanya yang bakalan saya sebutin, karakter dan alasan mereka hadir juga akan saya omongin  deh. Selamat mengenal