Langsung ke konten utama

Serupa Aku

Aku adalah serupa aku. Aku titahan sang bumi tuk menjalani lakon-lakon. Aku diberi pilihan, menjadi aku atau bukan aku. Tapi kutanya, memangnya AKU seperti apa? Sebab menjadi yang BUKAN AKU lebih mudah, kulakukan. Hingga aku lupa dengan aku yang sebenarnya. - Shofi MI

Banyak Kenyataan yang Menampar Diri


Semua pasti pernah mengalami kecewa. Sakit hati. Putus asa. Dan ingin menyerah. Sama sesuatu yang diharapkan akan kita miliki. Seperti cita-cita, mimpi, dan harapan.

Sewaktu kecil teramat mudah untuk kita mengatakan ingin jadi dokter, jadi arsitek, jadi pilot, jadi polisi, jadi tentara, menjadi apa pun yang anak kecil anggap sebagai kesuksesan di masa depan. Tapi seiring kita tumbuh, banyak kenyataan yang menampar diri, yang membuat kita menyadari bahwa enggak semua yang diinginkan bisa diwujudkan.

Bermimpi sebenarnya murah, gratis malahan. Tapi untuk mewujudkannya itu yang memerlukan modal besar. Modalnya tidak hanya berupa uang, tapi juga dukungan sekitar. Modal yang paling mahal saat mengejar cita-cita adalah dukungan orang terdekat. Bukan uang, karena uang masih bisa dicari selama kita ingin berusaha, dan Tuhan sudah mengatur rejeki setiap manusia. Tapi dukungan orang sekitar adalah kemahalan yang kerap tidak bisa dimiliki bagi sebagian orang. Kita miskin terhadap dukungan, tapi kaya raya terhadap cacian.

Untuk yang sedang menjalani sesuatu tanpa dukungan orang-orang terdekat, dan untuk yang sedang menjalani sesuatu dengan segunung dukungan orang sekitar. Tetap tangguh dan kuat menjalani hari, karena kita sama-sama berhak berbahagia dan menjalani peran sebagai manusia.

- Shofi Moeslim 
(@shofimoeslim)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Di Balik Tawa dan Rasa: Kisah Dari Hanggia (10 - SELESAI)

Abimana mengadang langkahku yang akan berjalan ke luar kelas. Dia tersenyum lebar di hadapanku yang sedang malas menatapnya. "Gi, mau tau enggak?" "Apa?" "Aku, pacaran sama Gantari." "Iya?" "Iya, Gi. Enggak percaya?" "Enggak." Abimana menatapku, sementara aku berusaha agar tidak menunjukkan rasa kecewa. Aku sengaja menyangkal dengan berkata tidak memercayainya, padahal aku tahu di dunia ini tidak ada yang mustahil, apalagi Abimana dan Gantari terlihat saling menyukai. "Gi, mau ke mana?" "Perpus." Kali ini Abimana tidak menghalangi langkahku. Aku berjalan sendirian ke perpustakaan, padahal sebelumnya aku berniat untuk pergi ke kantin. Tapi, sepertinya aku membutuhkan ketenangan. "Gi?" "Abimanyu, kok ada di sini?" "Mau pinjem buku. Kamu juga?" "Enggak, mau duduk aja di sana." Abimanyu mengangguk, pandangan matanya mengikuti arah jari telunjukku. "Mau ak...

Di Balik Tawa dan Rasa: Kisah Dari Hanggia (2)

Ibuku berlari dan membuka pintu kamar ketika mendengar aku berteriak. Seketika aku memberhentikan aksi selebrasiku yang tentu saja mengundang berisik di dalam rumah. Aku mengerti tatapan mata ibu, seakan bertanya kenapa. Aku hanya menyengir dan menggelengkan kepala, lantas ibu pergi lagi sambil menutup pintu kamarku. "Gi, aku mau ikut audisi stand up comedy , mau dengerin dulu enggak?" "Dengerin apa?" "Lawakanku. Hitung-hitung latihan di depan kamu, sebelum tampil di depan juri." "Ya udah, panggung dipersilakan," ucapku sambil menutup buku catatan. "Lucu, lumayan." Abimana bertepuk tangan sambil tertawa. Kemudian dia menunjukku, seketika aku menunjuk diriku sendiri. "Apanya yang lucu Bim?"   tanyaku. "Barusan, ah udah, lupakan." "Jadi enggak nih?" Abimana menarik napas, mengembuskannya pelan. Bibirnya komat-kamit, bukan baca mantra, ia membaca doa. Dia menatapku dan tersenyum, kemudian mengepal...

Di Balik Tawa dan Rasa: Kisah Dari Hanggia (6)

Kedatangan Abimana menghentikan langkahku. Dia tampak lunglai dan tidak bersemangat. Tapi, dia enggak membawa motor seperti biasanya, kalau enggak salah barusan aku lihat dia diantar oleh Abimanyu. Aku mempercepat langkah dan menyusul Abimana yang sudah memasuki gerbang sekolah. "Bim? Are you okay ?" " No, Gi," jawab Abimana sambil menatapku dan tersenyum. Tapi, senyuman itu bukanlah senyuman milik Abimana yang biasa dia berikan untukku. "Kenapa?" Abimana tidak menjawab, dia masih berjalan di sampingku. "Tadi kamu diantar Abimanyu? Memangnya dia enggak sekolah?"  Abimana terdiam. Aku dan dia saling berhadapan di salah satu koridor sekolah. "Mulai besok adikku sekolah di sini, Gi." "Pindah?" "Iya." "Bukannya kamu harusnya seneng ya, Bim? Kan, kamu jadi enggak sendirian." "Ibuku mau menikah lagi, Gi. Adikku enggak mau tinggal sama ayah tirinya, jadi dia pengin tinggal di sini sama aku dan aya...