Aku adalah serupa aku. Aku titahan sang bumi tuk menjalani lakon-lakon. Aku diberi pilihan, menjadi aku atau bukan aku. Tapi kutanya, memangnya AKU seperti apa? Sebab menjadi yang BUKAN AKU lebih mudah, kulakukan. Hingga aku lupa dengan aku yang sebenarnya. - Shofi MI
"Gi, aku mau ikut audisi stand up comedy, mau dengerin dulu enggak?"
"Dengerin apa?"
"Lawakanku. Hitung-hitung latihan di depan kamu, sebelum tampil di depan juri."
"Ya udah, panggung dipersilakan," ucapku sambil menutup buku catatan.
"Lucu, lumayan." Abimana bertepuk tangan sambil tertawa. Kemudian dia menunjukku, seketika aku menunjuk diriku sendiri.
"Apanya yang lucu Bim?" tanyaku.
"Barusan, ah udah, lupakan."
"Jadi enggak nih?"
Abimana menarik napas, mengembuskannya pelan. Bibirnya komat-kamit, bukan baca mantra, ia membaca doa. Dia menatapku dan tersenyum, kemudian mengepalkan tangannya dan menaruh di depan mulut, berlagak memegang mic.
"Assalamua'laikum warahmatullahi wabarakatuh. Kenalin nama gue Abimana, biasa dipanggil Mana. Gara-gara nama panggilan gue yang kayak gitu, jadi kadang gue tersinggung sama orang-orang yang niat nyemangatin gue pas gue lagi putus asa. 'MANA BISA!' kata mereka. Lah, kalo intonasinya salah, gue bisa nyalah artiin tuh!"
Abimana berhenti, dia menurunkan tangannya. "Gimana, lucu enggak Gi?"
"Garing."
"To the point banget sih Gi."
"Udah? Aku mau ke perpus dulu."
"Mau bareng enggak?"
"Tumben, ke perpus? Pinjam buku?"
"Bayar denda, buku yang minggu kemarin aku pinjam, hilang Gi." Abimana menyengir sambil meronggoh saku seragamnya.
Tanpa mengiyakan untuk pergi ke perpus bersama, lantas aku pergi melangkah, meninggalkan Abimana yang sekarang sedang mengekorku dari belakang. Langkahku yang cepat membuat dia berteriak memanggilku untuk kutunggu, biarkan saja dia berlari menyamakan langkahnya denganku. Sementara aku, berusaha menahan tawa dan senyum, ternyata apa pun yang Abimana lakukan, selalu mengundang bahagia dan tawa. Tanpa dia tahu, karena aku selalu menyembunyikannya.
Seminggu setelah Abimana latihan melawak di depanku, dia dirundung kekecewaan karena tidak lolos audisi. Aku menertawakannya ketika ia gagal.
"Aku lagi kecewa lho, Gi."
"Ya terus?"
"Ya, jangan ketawa!"
"Habisnya, kegagalan kamu lebih lucu dari materi stand up kamu sih."
Abimana terlihat geram, terlebih saat tawaku semakin keras. Dia menarik napas, mengembuskannya kasar, lalu menatapku tajam sambil menggertakkan giginya.
"Lihat ya, di audisi yang akan datang, aku pasti lolos."
"Enggak kapok?"
"Bukan Abimana, kalau gampang kapok."
Abimana berbalik badan, ia melangkah pergi dariku dan mengikuti kedua temannya untuk ke kantin. Pada saat itu, ketika Abimana melaporkan kegagalannya, sebenarnya aku bersedih. Kenapa orang yang mempunyai semangat tinggi sepertinya selalu dihampiri oleh kegagalan? Sementara aku bukanlah orang yang bisa berlemah lembut dalam menghadapi orang yang sedang berputus asa.
Aku tahu Abimana mudah tersinggung, dia paling tidak bisa diremehkan, sehingga aku sering melakukan yang tidak dia sukai. Seperti menertawakan kegagalannya, meremehkan mimpinya, dan apa pun itu yang terlihat seolah tidak mendukungnya. Supaya dia berusaha keras dan membakar semangatnya, sehingga dia tidak mudah menyerah dan tidak cepat puas dengan apa yang ia miliki.
"Maaf bila caraku salah dalam menghadapinya, Tuhan. Tapi, sepertinya aku berhasil, karena dia selalu kembali kepadaku ketika bahagia dan keluhnya."
***
Waw, udah sampai di part kedua nih. Terima kasih ya, sudah baca ceritaku. Lanjut ke part 3 yuk!
Salam hangat, semoga selalu sehat.
Komentar
Posting Komentar