Langsung ke konten utama

Serupa Aku

Aku adalah serupa aku. Aku titahan sang bumi tuk menjalani lakon-lakon. Aku diberi pilihan, menjadi aku atau bukan aku. Tapi kutanya, memangnya AKU seperti apa? Sebab menjadi yang BUKAN AKU lebih mudah, kulakukan. Hingga aku lupa dengan aku yang sebenarnya. - Shofi MI

Di Balik Tawa dan Rasa: Kisah Dari Hanggia (2)


Ibuku berlari dan membuka pintu kamar ketika mendengar aku berteriak. Seketika aku memberhentikan aksi selebrasiku yang tentu saja mengundang berisik di dalam rumah. Aku mengerti tatapan mata ibu, seakan bertanya kenapa. Aku hanya menyengir dan menggelengkan kepala, lantas ibu pergi lagi sambil menutup pintu kamarku.

"Gi, aku mau ikut audisi stand up comedy, mau dengerin dulu enggak?"

"Dengerin apa?"

"Lawakanku. Hitung-hitung latihan di depan kamu, sebelum tampil di depan juri."

"Ya udah, panggung dipersilakan," ucapku sambil menutup buku catatan.

"Lucu, lumayan." Abimana bertepuk tangan sambil tertawa. Kemudian dia menunjukku, seketika aku menunjuk diriku sendiri.

"Apanya yang lucu Bim?" tanyaku.

"Barusan, ah udah, lupakan."

"Jadi enggak nih?"

Abimana menarik napas, mengembuskannya pelan. Bibirnya komat-kamit, bukan baca mantra, ia membaca doa. Dia menatapku dan tersenyum, kemudian mengepalkan tangannya dan menaruh di depan mulut, berlagak memegang mic. 

"Assalamua'laikum warahmatullahi wabarakatuh. Kenalin nama gue Abimana, biasa dipanggil Mana. Gara-gara nama panggilan gue yang kayak gitu, jadi kadang gue tersinggung sama orang-orang yang niat nyemangatin gue pas gue lagi putus asa. 'MANA BISA!' kata mereka. Lah, kalo intonasinya salah, gue bisa nyalah artiin tuh!"

Abimana berhenti, dia menurunkan tangannya. "Gimana, lucu enggak Gi?"

"Garing."

"To the point banget sih Gi."

"Udah? Aku mau ke perpus dulu."

"Mau bareng enggak?"

"Tumben, ke perpus? Pinjam buku?"

"Bayar denda, buku yang minggu kemarin aku pinjam, hilang Gi." Abimana menyengir sambil meronggoh saku seragamnya.

Tanpa mengiyakan untuk pergi ke perpus bersama, lantas aku pergi melangkah, meninggalkan Abimana yang sekarang sedang mengekorku dari belakang. Langkahku yang cepat membuat dia berteriak memanggilku untuk kutunggu, biarkan saja dia berlari menyamakan langkahnya denganku. Sementara aku, berusaha menahan tawa dan senyum, ternyata apa pun yang Abimana lakukan, selalu mengundang bahagia dan tawa. Tanpa dia tahu, karena aku selalu menyembunyikannya.

Seminggu setelah Abimana latihan melawak di depanku, dia dirundung kekecewaan karena tidak lolos audisi. Aku menertawakannya ketika ia gagal.

"Aku lagi kecewa lho, Gi."

"Ya terus?"

"Ya, jangan ketawa!" 

"Habisnya, kegagalan kamu lebih lucu dari materi stand up kamu sih."

Abimana terlihat geram, terlebih saat tawaku semakin keras. Dia menarik napas, mengembuskannya kasar, lalu menatapku tajam sambil menggertakkan giginya.

"Lihat ya, di audisi yang akan datang, aku pasti lolos." 

"Enggak kapok?"

"Bukan Abimana, kalau gampang kapok."

Abimana berbalik badan, ia melangkah pergi dariku dan mengikuti kedua temannya untuk ke kantin. Pada saat itu, ketika Abimana melaporkan kegagalannya, sebenarnya aku bersedih. Kenapa orang yang mempunyai semangat tinggi sepertinya selalu dihampiri oleh kegagalan? Sementara aku bukanlah orang yang bisa berlemah lembut dalam menghadapi orang yang sedang berputus asa. 

Aku tahu Abimana mudah tersinggung, dia paling tidak bisa diremehkan, sehingga aku sering melakukan yang tidak dia sukai. Seperti menertawakan kegagalannya, meremehkan mimpinya, dan apa pun itu yang terlihat seolah tidak mendukungnya. Supaya dia berusaha keras dan membakar semangatnya, sehingga dia tidak mudah menyerah dan tidak cepat puas dengan apa yang ia miliki.

"Maaf bila caraku salah dalam menghadapinya, Tuhan. Tapi, sepertinya aku berhasil, karena dia selalu kembali kepadaku ketika bahagia dan keluhnya." 

***

Waw, udah sampai di part kedua nih. Terima kasih ya, sudah baca ceritaku. Lanjut ke part 3 yuk!
Salam hangat, semoga selalu sehat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Di Balik Tawa dan Rasa: Kisah Dari Hanggia (10 - SELESAI)

Abimana mengadang langkahku yang akan berjalan ke luar kelas. Dia tersenyum lebar di hadapanku yang sedang malas menatapnya. "Gi, mau tau enggak?" "Apa?" "Aku, pacaran sama Gantari." "Iya?" "Iya, Gi. Enggak percaya?" "Enggak." Abimana menatapku, sementara aku berusaha agar tidak menunjukkan rasa kecewa. Aku sengaja menyangkal dengan berkata tidak memercayainya, padahal aku tahu di dunia ini tidak ada yang mustahil, apalagi Abimana dan Gantari terlihat saling menyukai. "Gi, mau ke mana?" "Perpus." Kali ini Abimana tidak menghalangi langkahku. Aku berjalan sendirian ke perpustakaan, padahal sebelumnya aku berniat untuk pergi ke kantin. Tapi, sepertinya aku membutuhkan ketenangan. "Gi?" "Abimanyu, kok ada di sini?" "Mau pinjem buku. Kamu juga?" "Enggak, mau duduk aja di sana." Abimanyu mengangguk, pandangan matanya mengikuti arah jari telunjukku. "Mau ak...

Kita Sering Tidak Sadar Diri - Senandika

Balas demi balas kukirimkan bersama keraguan. Pikiran minta menyudahi, namun hati bergerak sendiri. Berulang kali kuminta untuk kau sudahi, supaya kau yang selama ini membingungkan diri tidak terbawa perasaan lagi oleh dia yang kau anggap segalanya. Memang benar, tegas terhadap diri sendiri lebih sulit, meminta kepada diri sendiri lebih susah untuk dilakukan. Apalagi jika hal yang menyangkut dengan cinta dan perasaan. Seakan orang yang ingin menyuruh kau berhenti dari segala rasa sakit bukan lagi terdengar seperti dukungan, tapi kau anggap sebagai cara tuk memisahkan. "Aku harus gimana lagi ya?" tanyamu dengan tatap penuh harap, berharap aku memberi solusi dan pengampunan terhadap dia yang selalu menyakiti dirimu berulang kali. "Ya, mau gimana lagi? Semuanya udah jelas kan? Dia sering nyakitin kamu." Entah hatimu dilapisi selimut setebal apa sampai sikap dinginnya dia kepadamu tidak lagi terasa, dan malah kau anggap biasa. Di saat kubela hatimu agar tetap u...