Langsung ke konten utama

Serupa Aku

Aku adalah serupa aku. Aku titahan sang bumi tuk menjalani lakon-lakon. Aku diberi pilihan, menjadi aku atau bukan aku. Tapi kutanya, memangnya AKU seperti apa? Sebab menjadi yang BUKAN AKU lebih mudah, kulakukan. Hingga aku lupa dengan aku yang sebenarnya. - Shofi MI

Di Balik Tawa dan Rasa: Kisah Dari Hanggia (5)


Sebelum menaiki motor untuk pulang, selalu saja terjadi perbincangan yang enggak penting antara aku dan Abimana di parkiran sekolah. Padahal kami satu kelas, pulang dan pergi sekolah selalu bersama, tapi obrolan darinya enggak pernah habis. Mulutnya seakan diciptakan untuk memenuhi ruang telingaku.

"Udah, ayo, pulang."

"Sebentar, Gi, aku masih pengin di sini."

"Ngapain? Di parkiran?"

"Ya, menurutmu ini apa?"

"Parkiran."

"Ya, bebas dong, memangnya parkiran dibuat untuk istirahat kendaraan aja? Enggak, Gi."

"Terus?"

"Manusia juga berhak istirahat di sini."

"Garing, enggak lucu, Bim."

"Aku enggak melawak. Suasana di parkiran sekolah kita lebih adem daripada di kantin, lumayan buat nenangin pikiran. Pikiranku kusut, gara-gara pelajaran bahasa inggris barusan."

Aku menahan tawa dan mengalihkan pandangan dari Abimana, melihat sekitar kami sudah mulai sepi.

"Kalau pengin ketawa, jangan ditahan."

"Siapa yang pengin ketawa?"

"Kamu."

"Enggak."

"Harusnya sebelum aku ikut audisi stand up comedy yang pertama dibikin ketawa itu kamu dulu ya, Gi?"

"Selera humorku tinggi, Bim."

"Ah, itu sih, susah dibikin ketawa. Hati-hati nanti cepet tua. Hidup itu banyakin ketawa, Gi."

"Iya, aku tau."

"Tau apa?"

"Hidup banyakin ketawa."

"Bagus, anak pinter."

"Emang aku pinter."

"Iya, tapi enggak sepinter aku."

"Apa sih?" Aku tertawa sambil memukul Abimana. Ucapannya enggak sesuai fakta, bukannya aku sombong, setiap ulangan harian saja nilai dia selalu di bawah KKM.

"Sekalinya ketawa, sambil mukul orang."

"Maaf, spontan."

"Enggak apa-apa, asal kamu ketawa."

Tawa kami berdua terhenti seketika pada saat terdengar suara petir. Abimana menyuruhku untuk cepat menaiki motor, sebelum hujan turun dan langit mulai mendung. 

"Ibu!"

Aku berteriak, berlari kecil menuju pintu. Hari ini ibuku tidak ke kantor, katanya sedang ingin di rumah, makanya aku bersemangat pulang sekolah.

"Ibu!" 

Abimana ikut berteriak memanggil ibuku. Dia menyengir sambil membuka helmnya. Ibuku tidak akan aneh dengan sikap dan kehadiran makhluk ini, dia sudah sering memaklumi dan memahami Abimana.

"Eh?"

"Udah pulang Gi?"

"Gantari, kamu kok ada di sini?"

Sepupuku, Gantari, dia tersenyum sambil mengikat rambutnya yang terurai. Dia mengalihkan pandangan kepada Abimana, sementara yang kulihat Abimana juga menatap Gantari.

"Bim, kenalin, sepupuku, Gantari."

"Oh, Abimana."

Mereka berdua bersalaman dan saling melempar senyuman.

"Ibu mana?" tanyaku pada Gantari.

"Ada, lagi di dapur. Ayo ajak temennya masuk Gi," ucap Gantari.

Abimana menarik tanganku ketika aku hendak melangkah masuk mengikuti Gantari.

"Gi, aku pulang aja, ya. Enggak enak, lagi ada saudara kamu."

"Enggak apa-apa, Bim."

"Enggak Gi, aku pulang aja, udah mendung juga, takut kehujanan, aku enggak bawa jas hujan. Titip salam ke ibu, ya."

Anggukan kepalaku seakan mengantar kepergian Abimana dengan motornya. Kalau dilihat-lihat, langit enggak terlalu mendung, dan sepertinya enggak akan turun hujan. Tapi tidak apa, mungkin Abimana memang ingin pulang, dan sedari di perjalanan pulang tadi ponsel Abimana terus-terusan berdering, mungkin ada suatu yang mengharuskan dia untuk pulang cepat.

Sementara aku baru teringat atas kehadiran Gantari di rumahku, semalam ibu mengatakan bahwa mulai hari ini Gantari akan tinggal bersama kami. Dia tidak diperbolehkan indekos oleh orangtuanya ketika kuliah. Tidak masalah, lagipula aku jadi ada teman di rumah, apalagi ketika ibu kerja lembur di kantor.

***

Lanjut next part?
Gaskeun part 6 yuk!
Thanks masih bertahan sampai di sini. Yuk semangat baca sampai selesai!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Di Balik Tawa dan Rasa: Kisah Dari Hanggia (10 - SELESAI)

Abimana mengadang langkahku yang akan berjalan ke luar kelas. Dia tersenyum lebar di hadapanku yang sedang malas menatapnya. "Gi, mau tau enggak?" "Apa?" "Aku, pacaran sama Gantari." "Iya?" "Iya, Gi. Enggak percaya?" "Enggak." Abimana menatapku, sementara aku berusaha agar tidak menunjukkan rasa kecewa. Aku sengaja menyangkal dengan berkata tidak memercayainya, padahal aku tahu di dunia ini tidak ada yang mustahil, apalagi Abimana dan Gantari terlihat saling menyukai. "Gi, mau ke mana?" "Perpus." Kali ini Abimana tidak menghalangi langkahku. Aku berjalan sendirian ke perpustakaan, padahal sebelumnya aku berniat untuk pergi ke kantin. Tapi, sepertinya aku membutuhkan ketenangan. "Gi?" "Abimanyu, kok ada di sini?" "Mau pinjem buku. Kamu juga?" "Enggak, mau duduk aja di sana." Abimanyu mengangguk, pandangan matanya mengikuti arah jari telunjukku. "Mau ak...

Di Balik Tawa dan Rasa: Kisah Dari Hanggia (2)

Ibuku berlari dan membuka pintu kamar ketika mendengar aku berteriak. Seketika aku memberhentikan aksi selebrasiku yang tentu saja mengundang berisik di dalam rumah. Aku mengerti tatapan mata ibu, seakan bertanya kenapa. Aku hanya menyengir dan menggelengkan kepala, lantas ibu pergi lagi sambil menutup pintu kamarku. "Gi, aku mau ikut audisi stand up comedy , mau dengerin dulu enggak?" "Dengerin apa?" "Lawakanku. Hitung-hitung latihan di depan kamu, sebelum tampil di depan juri." "Ya udah, panggung dipersilakan," ucapku sambil menutup buku catatan. "Lucu, lumayan." Abimana bertepuk tangan sambil tertawa. Kemudian dia menunjukku, seketika aku menunjuk diriku sendiri. "Apanya yang lucu Bim?"   tanyaku. "Barusan, ah udah, lupakan." "Jadi enggak nih?" Abimana menarik napas, mengembuskannya pelan. Bibirnya komat-kamit, bukan baca mantra, ia membaca doa. Dia menatapku dan tersenyum, kemudian mengepal...

Kita Sering Tidak Sadar Diri - Senandika

Balas demi balas kukirimkan bersama keraguan. Pikiran minta menyudahi, namun hati bergerak sendiri. Berulang kali kuminta untuk kau sudahi, supaya kau yang selama ini membingungkan diri tidak terbawa perasaan lagi oleh dia yang kau anggap segalanya. Memang benar, tegas terhadap diri sendiri lebih sulit, meminta kepada diri sendiri lebih susah untuk dilakukan. Apalagi jika hal yang menyangkut dengan cinta dan perasaan. Seakan orang yang ingin menyuruh kau berhenti dari segala rasa sakit bukan lagi terdengar seperti dukungan, tapi kau anggap sebagai cara tuk memisahkan. "Aku harus gimana lagi ya?" tanyamu dengan tatap penuh harap, berharap aku memberi solusi dan pengampunan terhadap dia yang selalu menyakiti dirimu berulang kali. "Ya, mau gimana lagi? Semuanya udah jelas kan? Dia sering nyakitin kamu." Entah hatimu dilapisi selimut setebal apa sampai sikap dinginnya dia kepadamu tidak lagi terasa, dan malah kau anggap biasa. Di saat kubela hatimu agar tetap u...