Aku adalah serupa aku. Aku titahan sang bumi tuk menjalani lakon-lakon. Aku diberi pilihan, menjadi aku atau bukan aku. Tapi kutanya, memangnya AKU seperti apa? Sebab menjadi yang BUKAN AKU lebih mudah, kulakukan. Hingga aku lupa dengan aku yang sebenarnya. - Shofi MI
"Udah, ayo, pulang."
"Sebentar, Gi, aku masih pengin di sini."
"Ngapain? Di parkiran?"
"Ya, menurutmu ini apa?"
"Parkiran."
"Ya, bebas dong, memangnya parkiran dibuat untuk istirahat kendaraan aja? Enggak, Gi."
"Terus?"
"Manusia juga berhak istirahat di sini."
"Garing, enggak lucu, Bim."
"Aku enggak melawak. Suasana di parkiran sekolah kita lebih adem daripada di kantin, lumayan buat nenangin pikiran. Pikiranku kusut, gara-gara pelajaran bahasa inggris barusan."
Aku menahan tawa dan mengalihkan pandangan dari Abimana, melihat sekitar kami sudah mulai sepi.
"Kalau pengin ketawa, jangan ditahan."
"Siapa yang pengin ketawa?"
"Kamu."
"Enggak."
"Harusnya sebelum aku ikut audisi stand up comedy yang pertama dibikin ketawa itu kamu dulu ya, Gi?"
"Selera humorku tinggi, Bim."
"Ah, itu sih, susah dibikin ketawa. Hati-hati nanti cepet tua. Hidup itu banyakin ketawa, Gi."
"Iya, aku tau."
"Tau apa?"
"Hidup banyakin ketawa."
"Bagus, anak pinter."
"Emang aku pinter."
"Iya, tapi enggak sepinter aku."
"Apa sih?" Aku tertawa sambil memukul Abimana. Ucapannya enggak sesuai fakta, bukannya aku sombong, setiap ulangan harian saja nilai dia selalu di bawah KKM.
"Sekalinya ketawa, sambil mukul orang."
"Maaf, spontan."
"Enggak apa-apa, asal kamu ketawa."
Tawa kami berdua terhenti seketika pada saat terdengar suara petir. Abimana menyuruhku untuk cepat menaiki motor, sebelum hujan turun dan langit mulai mendung.
"Ibu!"
Aku berteriak, berlari kecil menuju pintu. Hari ini ibuku tidak ke kantor, katanya sedang ingin di rumah, makanya aku bersemangat pulang sekolah.
"Ibu!"
Abimana ikut berteriak memanggil ibuku. Dia menyengir sambil membuka helmnya. Ibuku tidak akan aneh dengan sikap dan kehadiran makhluk ini, dia sudah sering memaklumi dan memahami Abimana.
"Eh?"
"Udah pulang Gi?"
"Gantari, kamu kok ada di sini?"
Sepupuku, Gantari, dia tersenyum sambil mengikat rambutnya yang terurai. Dia mengalihkan pandangan kepada Abimana, sementara yang kulihat Abimana juga menatap Gantari.
"Bim, kenalin, sepupuku, Gantari."
"Oh, Abimana."
Mereka berdua bersalaman dan saling melempar senyuman.
"Ibu mana?" tanyaku pada Gantari.
"Ada, lagi di dapur. Ayo ajak temennya masuk Gi," ucap Gantari.
Abimana menarik tanganku ketika aku hendak melangkah masuk mengikuti Gantari.
"Gi, aku pulang aja, ya. Enggak enak, lagi ada saudara kamu."
"Enggak apa-apa, Bim."
"Enggak Gi, aku pulang aja, udah mendung juga, takut kehujanan, aku enggak bawa jas hujan. Titip salam ke ibu, ya."
Anggukan kepalaku seakan mengantar kepergian Abimana dengan motornya. Kalau dilihat-lihat, langit enggak terlalu mendung, dan sepertinya enggak akan turun hujan. Tapi tidak apa, mungkin Abimana memang ingin pulang, dan sedari di perjalanan pulang tadi ponsel Abimana terus-terusan berdering, mungkin ada suatu yang mengharuskan dia untuk pulang cepat.
Sementara aku baru teringat atas kehadiran Gantari di rumahku, semalam ibu mengatakan bahwa mulai hari ini Gantari akan tinggal bersama kami. Dia tidak diperbolehkan indekos oleh orangtuanya ketika kuliah. Tidak masalah, lagipula aku jadi ada teman di rumah, apalagi ketika ibu kerja lembur di kantor.
***
Lanjut next part?
Gaskeun part 6 yuk!
Thanks masih bertahan sampai di sini. Yuk semangat baca sampai selesai!
Komentar
Posting Komentar