Langsung ke konten utama

Serupa Aku

Aku adalah serupa aku. Aku titahan sang bumi tuk menjalani lakon-lakon. Aku diberi pilihan, menjadi aku atau bukan aku. Tapi kutanya, memangnya AKU seperti apa? Sebab menjadi yang BUKAN AKU lebih mudah, kulakukan. Hingga aku lupa dengan aku yang sebenarnya. - Shofi MI

Di Balik Tawa dan Rasa: Kisah Dari Hanggia (6)


Kedatangan Abimana menghentikan langkahku. Dia tampak lunglai dan tidak bersemangat. Tapi, dia enggak membawa motor seperti biasanya, kalau enggak salah barusan aku lihat dia diantar oleh Abimanyu. Aku mempercepat langkah dan menyusul Abimana yang sudah memasuki gerbang sekolah.

"Bim? Are you okay?"

"No, Gi," jawab Abimana sambil menatapku dan tersenyum. Tapi, senyuman itu bukanlah senyuman milik Abimana yang biasa dia berikan untukku.

"Kenapa?"

Abimana tidak menjawab, dia masih berjalan di sampingku.

"Tadi kamu diantar Abimanyu? Memangnya dia enggak sekolah?" 

Abimana terdiam. Aku dan dia saling berhadapan di salah satu koridor sekolah.

"Mulai besok adikku sekolah di sini, Gi."

"Pindah?"

"Iya."

"Bukannya kamu harusnya seneng ya, Bim? Kan, kamu jadi enggak sendirian."

"Ibuku mau menikah lagi, Gi. Adikku enggak mau tinggal sama ayah tirinya, jadi dia pengin tinggal di sini sama aku dan ayah."

Abimana tertunduk, suasana menjadi canggung untukku menghadapinya.

"Maaf, Gi."

"Maaf kenapa?"

"Maaf aku belum pernah cerita soal orangtuaku sama kamu, ibuku bukan bekerja di luar kota. Tapi sebenarnya ibu dan ayahku udah lama bercerai, aku tinggal sama ayah, adikku tinggal sama ibu. Padahal kita udah kenal lama, bahkan kamu baru tau aku punya kembaran. Selama ini aku tertutup kepada siapa pun, termasuk kamu dan ibumu."

"Enggak apa-apa, Bim. Enggak semua orang harus tau tentang kehidupan kita, termasuk tentang keluarga."

"Tapi kamu sahabat aku, Gi. Orang yang paling dekat denganku."

"Karena aku sahabat kamu, aku enggak masalah dengan apa yang kamu lakuin."

"Hidupku berat, Gi."

"Enggak ada hidup yang mudah, Bim. Selama kita bernapas, selama itu pula kita menanggung beban."

Abimana mengusap ekor matanya, dia menahan tangis, aku tidak pernah melihat makhluk pecicilan yang bermimpi menjadi juara satu kompetisi stand up comedy ini menitikkan air mata.

Aku tidak pernah menyangka kehidupan Abimana seberat ini. Ketika pertama kali datang ke rumah dia, aku menanyakan kehadiran ibunya, tapi Abimana mengatakan bahwa ibunya bekerja di luar kota dan ia tidak ingin tinggal bersama ibunya. Namun, pagi ini Abimana mengungkapkan sesuatu yang amat menyakitkan baginya, dan bagiku yang mendengarnya. Sepertinya sampai saat ini Abimana belum bisa menerima perceraian antara ibu dan ayahnya.

Ternyata Abimana yang selama ini selalu berusaha membuatku tertawa, adalah dia yang lebih membutuhkan tuk dibuat tertawa.

***

Alhamdulillah, sampai di part 6. Masih kuat untuk lanjut? Kalau cape, kalau sibuk, kalau ngantuk, kalau butuh istirahat, jeda dulu, tulisanku enggak akan ke mana-mana, masih bisa dibaca kapan pun kamu mau.

Kalau yang penasaran dengan kelanjutannya, langsung baca aja di part 7 yuk!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Di Balik Tawa dan Rasa: Kisah Dari Hanggia (10 - SELESAI)

Abimana mengadang langkahku yang akan berjalan ke luar kelas. Dia tersenyum lebar di hadapanku yang sedang malas menatapnya. "Gi, mau tau enggak?" "Apa?" "Aku, pacaran sama Gantari." "Iya?" "Iya, Gi. Enggak percaya?" "Enggak." Abimana menatapku, sementara aku berusaha agar tidak menunjukkan rasa kecewa. Aku sengaja menyangkal dengan berkata tidak memercayainya, padahal aku tahu di dunia ini tidak ada yang mustahil, apalagi Abimana dan Gantari terlihat saling menyukai. "Gi, mau ke mana?" "Perpus." Kali ini Abimana tidak menghalangi langkahku. Aku berjalan sendirian ke perpustakaan, padahal sebelumnya aku berniat untuk pergi ke kantin. Tapi, sepertinya aku membutuhkan ketenangan. "Gi?" "Abimanyu, kok ada di sini?" "Mau pinjem buku. Kamu juga?" "Enggak, mau duduk aja di sana." Abimanyu mengangguk, pandangan matanya mengikuti arah jari telunjukku. "Mau ak...

Di Balik Tawa dan Rasa: Kisah Dari Hanggia (2)

Ibuku berlari dan membuka pintu kamar ketika mendengar aku berteriak. Seketika aku memberhentikan aksi selebrasiku yang tentu saja mengundang berisik di dalam rumah. Aku mengerti tatapan mata ibu, seakan bertanya kenapa. Aku hanya menyengir dan menggelengkan kepala, lantas ibu pergi lagi sambil menutup pintu kamarku. "Gi, aku mau ikut audisi stand up comedy , mau dengerin dulu enggak?" "Dengerin apa?" "Lawakanku. Hitung-hitung latihan di depan kamu, sebelum tampil di depan juri." "Ya udah, panggung dipersilakan," ucapku sambil menutup buku catatan. "Lucu, lumayan." Abimana bertepuk tangan sambil tertawa. Kemudian dia menunjukku, seketika aku menunjuk diriku sendiri. "Apanya yang lucu Bim?"   tanyaku. "Barusan, ah udah, lupakan." "Jadi enggak nih?" Abimana menarik napas, mengembuskannya pelan. Bibirnya komat-kamit, bukan baca mantra, ia membaca doa. Dia menatapku dan tersenyum, kemudian mengepal...

Kita Sering Tidak Sadar Diri - Senandika

Balas demi balas kukirimkan bersama keraguan. Pikiran minta menyudahi, namun hati bergerak sendiri. Berulang kali kuminta untuk kau sudahi, supaya kau yang selama ini membingungkan diri tidak terbawa perasaan lagi oleh dia yang kau anggap segalanya. Memang benar, tegas terhadap diri sendiri lebih sulit, meminta kepada diri sendiri lebih susah untuk dilakukan. Apalagi jika hal yang menyangkut dengan cinta dan perasaan. Seakan orang yang ingin menyuruh kau berhenti dari segala rasa sakit bukan lagi terdengar seperti dukungan, tapi kau anggap sebagai cara tuk memisahkan. "Aku harus gimana lagi ya?" tanyamu dengan tatap penuh harap, berharap aku memberi solusi dan pengampunan terhadap dia yang selalu menyakiti dirimu berulang kali. "Ya, mau gimana lagi? Semuanya udah jelas kan? Dia sering nyakitin kamu." Entah hatimu dilapisi selimut setebal apa sampai sikap dinginnya dia kepadamu tidak lagi terasa, dan malah kau anggap biasa. Di saat kubela hatimu agar tetap u...