Aku adalah serupa aku. Aku titahan sang bumi tuk menjalani lakon-lakon. Aku diberi pilihan, menjadi aku atau bukan aku. Tapi kutanya, memangnya AKU seperti apa? Sebab menjadi yang BUKAN AKU lebih mudah, kulakukan. Hingga aku lupa dengan aku yang sebenarnya. - Shofi MI
"Bim? Are you okay?"
"No, Gi," jawab Abimana sambil menatapku dan tersenyum. Tapi, senyuman itu bukanlah senyuman milik Abimana yang biasa dia berikan untukku.
"Kenapa?"
Abimana tidak menjawab, dia masih berjalan di sampingku.
"Tadi kamu diantar Abimanyu? Memangnya dia enggak sekolah?"
Abimana terdiam. Aku dan dia saling berhadapan di salah satu koridor sekolah.
"Mulai besok adikku sekolah di sini, Gi."
"Pindah?"
"Iya."
"Bukannya kamu harusnya seneng ya, Bim? Kan, kamu jadi enggak sendirian."
"Ibuku mau menikah lagi, Gi. Adikku enggak mau tinggal sama ayah tirinya, jadi dia pengin tinggal di sini sama aku dan ayah."
Abimana tertunduk, suasana menjadi canggung untukku menghadapinya.
"Maaf, Gi."
"Maaf kenapa?"
"Maaf aku belum pernah cerita soal orangtuaku sama kamu, ibuku bukan bekerja di luar kota. Tapi sebenarnya ibu dan ayahku udah lama bercerai, aku tinggal sama ayah, adikku tinggal sama ibu. Padahal kita udah kenal lama, bahkan kamu baru tau aku punya kembaran. Selama ini aku tertutup kepada siapa pun, termasuk kamu dan ibumu."
"Enggak apa-apa, Bim. Enggak semua orang harus tau tentang kehidupan kita, termasuk tentang keluarga."
"Tapi kamu sahabat aku, Gi. Orang yang paling dekat denganku."
"Karena aku sahabat kamu, aku enggak masalah dengan apa yang kamu lakuin."
"Hidupku berat, Gi."
"Enggak ada hidup yang mudah, Bim. Selama kita bernapas, selama itu pula kita menanggung beban."
Abimana mengusap ekor matanya, dia menahan tangis, aku tidak pernah melihat makhluk pecicilan yang bermimpi menjadi juara satu kompetisi stand up comedy ini menitikkan air mata.
Aku tidak pernah menyangka kehidupan Abimana seberat ini. Ketika pertama kali datang ke rumah dia, aku menanyakan kehadiran ibunya, tapi Abimana mengatakan bahwa ibunya bekerja di luar kota dan ia tidak ingin tinggal bersama ibunya. Namun, pagi ini Abimana mengungkapkan sesuatu yang amat menyakitkan baginya, dan bagiku yang mendengarnya. Sepertinya sampai saat ini Abimana belum bisa menerima perceraian antara ibu dan ayahnya.
Ternyata Abimana yang selama ini selalu berusaha membuatku tertawa, adalah dia yang lebih membutuhkan tuk dibuat tertawa.
***
Alhamdulillah, sampai di part 6. Masih kuat untuk lanjut? Kalau cape, kalau sibuk, kalau ngantuk, kalau butuh istirahat, jeda dulu, tulisanku enggak akan ke mana-mana, masih bisa dibaca kapan pun kamu mau.
Kalau yang penasaran dengan kelanjutannya, langsung baca aja di part 7 yuk!
Komentar
Posting Komentar