Langsung ke konten utama

Serupa Aku

Aku adalah serupa aku. Aku titahan sang bumi tuk menjalani lakon-lakon. Aku diberi pilihan, menjadi aku atau bukan aku. Tapi kutanya, memangnya AKU seperti apa? Sebab menjadi yang BUKAN AKU lebih mudah, kulakukan. Hingga aku lupa dengan aku yang sebenarnya. - Shofi MI

Sederhana dan Hanya Untuk Kebahagiaannya - Senandika

"Satu masa tlah terlewati. Benci dan rindu merasuk di kalbu."

Entah mengapa lagu berjudul "Ada Apa Dengan Cinta" begitu asik mengalun di telinga dan pikiranku yang sedang berisik. Mendengar kata "benci" dan "rindu" seakan tidak bisa dipisahkan jika mengingat kenangan kita di masa dulu. Terasa bias dan aku tidak bisa membedakan batas antara benci dan rindu. Ah! Aku bukan sengaja mengingat, lagipula siapa yang ingin mengingat hal menyakitkan? Meskipun saat ini kau masih bersamaku, seolah dulu tidak pernah terjadi hal menyakitkan yang membuat masing-masing dari kita berlalu. Katamu, di saat kebersamaan tidak lagi membuat bahagia, kita butuh pergi sementara untuk menyadari masing-masing dari kita berhak bahagia. Ternyata benar, kita sama-sama pergi tuk sementara, dan kembali datang untuk menyambung luka. Pada akhirnya kita sama-sama menyadari setelah sama-sama pergi, bahwa kita berhak berbahagia. Kau berhak berbahagia dengan yang selain aku.

Kutegak minuman yang sedari tadi menemaniku di sebuah kamar yang cahayanya sangat minim, hanya ada cahaya dari ponselku yang tetap menyala karena sedang memutar sebuah lagu. Atmosfer di kamarku amat mendukung untukku bernostalgia sendirian tentang masa itu. Aku tertawa tanpa sengaja, mengingat kau yang kini sedang kukenang adalah seseorang yang pernah hampir kumiliki, dan sialnya lagi kau sekarang masih beriringan jalan bersamaku seakan tidak pernah ingin beranjak pergi.

Kita pernah ada di masa remaja saat kau dan aku sedang sama-sama semangat meraih mimpi. Kita sering bersaing untuk mendapat nilai paling bagus, sesering hujan turun pada saat musimnya. Kita sering saling titip jajanan ketika salah satu di antara kita malas untuk berjalan ke kantin. Kita pernah saling meminjam uang untuk mengisi kotak sumbangan yang dikekelingkan ke tiap kelas setiap seminggu sekali. "Uang kamu dulu ya, aku nggak ada uang kecil nih," ucapmu dan terkadang juga ucapku begitu. Tapi satu yang menjengkelkan darimu dan tidak akan pernah kulupa. Kau selalu berisik ketika menyontek di waktu ujian, padahal sudah kuberi kode dengan gerakan jari dan mulut yang berusaha sejelas mungkin mengucapkan kata-kata tanpa bersuara. Entah telinga kau yang selalu kurang dengar atau kau sengaja supaya aku dimarahi pengawas dan jadi bahan tertawaan di ruangan kelas? Apa pun alasannya, jika kau tertawa aku akan ikut bahagia.

Ah sialan, aku terlalu hanyut dalam nostalgia. Padahal untuk apa? Jika aku rindu bisa saja kutelepon kau sekarang dan mengajak jalan sambil menikmati jalanan di malam minggu yang tidak pernah sepi, bukankah kau selalu suka ketika melihat jalanan di malam hari dan banyak lampu kendaraan? Katamu, pemandangan seperti itu seperti kunang-kunang di malam hari dan kau menyukainya. Sementara aku yang tidak terlalu suka melihat banyak cahaya dan keramaian seperti yang kau sukai, berusaha untuk terlihat tertarik agar kau merasa nyaman bersamaku. Terkadang kita perlu merelakan sesuatu yang tidak kita sukai untuk kita sukai, ketika orang yang kita sukai menyukai sesuatu yang tidak kita sukai. Sederhana, dan hanya untuk kebahagiaannya.

Jadi bagaimana? Bolehkah kutelepon kau sekarang? Akan kuajak keliling kota dan berjalan-jalan melihat kunang-kunang yang kau sukai. 

("Sederhana, dan Hanya Untuk Kebahagiaannya" - Shofi MI)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Di Balik Tawa dan Rasa: Kisah Dari Hanggia (10 - SELESAI)

Abimana mengadang langkahku yang akan berjalan ke luar kelas. Dia tersenyum lebar di hadapanku yang sedang malas menatapnya. "Gi, mau tau enggak?" "Apa?" "Aku, pacaran sama Gantari." "Iya?" "Iya, Gi. Enggak percaya?" "Enggak." Abimana menatapku, sementara aku berusaha agar tidak menunjukkan rasa kecewa. Aku sengaja menyangkal dengan berkata tidak memercayainya, padahal aku tahu di dunia ini tidak ada yang mustahil, apalagi Abimana dan Gantari terlihat saling menyukai. "Gi, mau ke mana?" "Perpus." Kali ini Abimana tidak menghalangi langkahku. Aku berjalan sendirian ke perpustakaan, padahal sebelumnya aku berniat untuk pergi ke kantin. Tapi, sepertinya aku membutuhkan ketenangan. "Gi?" "Abimanyu, kok ada di sini?" "Mau pinjem buku. Kamu juga?" "Enggak, mau duduk aja di sana." Abimanyu mengangguk, pandangan matanya mengikuti arah jari telunjukku. "Mau ak...

Di Balik Tawa dan Rasa: Kisah Dari Hanggia (2)

Ibuku berlari dan membuka pintu kamar ketika mendengar aku berteriak. Seketika aku memberhentikan aksi selebrasiku yang tentu saja mengundang berisik di dalam rumah. Aku mengerti tatapan mata ibu, seakan bertanya kenapa. Aku hanya menyengir dan menggelengkan kepala, lantas ibu pergi lagi sambil menutup pintu kamarku. "Gi, aku mau ikut audisi stand up comedy , mau dengerin dulu enggak?" "Dengerin apa?" "Lawakanku. Hitung-hitung latihan di depan kamu, sebelum tampil di depan juri." "Ya udah, panggung dipersilakan," ucapku sambil menutup buku catatan. "Lucu, lumayan." Abimana bertepuk tangan sambil tertawa. Kemudian dia menunjukku, seketika aku menunjuk diriku sendiri. "Apanya yang lucu Bim?"   tanyaku. "Barusan, ah udah, lupakan." "Jadi enggak nih?" Abimana menarik napas, mengembuskannya pelan. Bibirnya komat-kamit, bukan baca mantra, ia membaca doa. Dia menatapku dan tersenyum, kemudian mengepal...

Kita Sering Tidak Sadar Diri - Senandika

Balas demi balas kukirimkan bersama keraguan. Pikiran minta menyudahi, namun hati bergerak sendiri. Berulang kali kuminta untuk kau sudahi, supaya kau yang selama ini membingungkan diri tidak terbawa perasaan lagi oleh dia yang kau anggap segalanya. Memang benar, tegas terhadap diri sendiri lebih sulit, meminta kepada diri sendiri lebih susah untuk dilakukan. Apalagi jika hal yang menyangkut dengan cinta dan perasaan. Seakan orang yang ingin menyuruh kau berhenti dari segala rasa sakit bukan lagi terdengar seperti dukungan, tapi kau anggap sebagai cara tuk memisahkan. "Aku harus gimana lagi ya?" tanyamu dengan tatap penuh harap, berharap aku memberi solusi dan pengampunan terhadap dia yang selalu menyakiti dirimu berulang kali. "Ya, mau gimana lagi? Semuanya udah jelas kan? Dia sering nyakitin kamu." Entah hatimu dilapisi selimut setebal apa sampai sikap dinginnya dia kepadamu tidak lagi terasa, dan malah kau anggap biasa. Di saat kubela hatimu agar tetap u...