Aku adalah serupa aku. Aku titahan sang bumi tuk menjalani lakon-lakon. Aku diberi pilihan, menjadi aku atau bukan aku. Tapi kutanya, memangnya AKU seperti apa? Sebab menjadi yang BUKAN AKU lebih mudah, kulakukan. Hingga aku lupa dengan aku yang sebenarnya. - Shofi MI
Sementara orang yang berjanji akan menghubungiku malam ini, tidak kunjung ada menghubungi.
"Belum berangkat Gi?"
"Belum Bu."
"Mau bareng sama Ibu?"
"Enggak, Abimana mau jemput aku."
Mendengar suara motor yang datang, lantas aku berpamitan kepada ibu dan segera berlari ke luar rumah.
"Lho? Abimanyu?"
"Hai."
"Ya, hai. Kakakmu mana?"
"Gi, kakakku udah berangkat tadi, pagi banget. Dia bilang sama aku suruh jemput kamu, takut kamu kesiangan karena nungguin dia."
"Kok bisa?"
"Katanya, tadi malam Gantari mendadak ada tugas kuliah, harus selesai pagi ini, kakakku antar dia ke kampusnya dan nyari warung fotokopian yang udah buka jam segini, Gi."
Aku terdiam mendengar penjelasan dari Abimanyu tentang kakaknya. Pantas saja tadi aku tidak melihat Gantari di dalam rumah, kukira dia belum bangun, ternyata sudah berangkat bersama Abimana. Kenapa Gantari harus melibatkan Abimana dalam urusannya? Bahkan sepagi ini, aku tidak ingin Abimana datang terlambat dan kelelahan ketika sampai di sekolah, dia tidak akan fokus belajar.
"Gi?"
"Hmm?"
"Enggak mau berangkat? Nanti kita telat."
"Oh iya!"
Sepanjang perjalanan aku berusaha mengeyahkan pikiran tentang Abimana dan Gantari. Sejak tadi aku mencemaskan Abimana, tapi, sudahlah biarkan saja, anggap saja sebagai risikonya, karena dia mau dekat dengan Gantari yang menurutku selalu merepotkan.
"Bim?"
"Ya, Gi?"
"Katanya tadi malam mau hubungi aku, tapi enggak ada."
"Aku lupa Gi. Datang dari rumahmu, aku ketiduran sampai jam dua malam. Pas bangun langsung kerjain tugas sampai subuh."
"Enggak ada yang bangunin?"
"Kata ayah udah dibangunin berapa kali, akunya aja yang susah dibangunin, memang iya sih, aku susah bangun kalau tidur."
"Wah? Hahaha! Sama dong."
"Iya Gi?"
"Iya, kata ibuku, aku susah dibangunin kalau tidur. Tapi bagi aku, mendingan susah bangun, daripada susah tidur."
Abimanyu tertawa. "Kamu bener, Gi. Aku enggak kepikiran sampai sana, pikiranmu unik."
Laju motor melambat saat obrolan aneh di antara kami saling terhubung. Tidak terasa gerbang sekolah mulai nampak dari kejauhan. Abimanyu mempercepat laju motornya karena waktu sudah hampir menunjukkan jam masuk.
"Pagi, Pak. Maaf saya terlambat."
Aku memandangi Abimana yang berdiri di ambang pintu. Firasatku benar, dia datang terlambat karena berurusan dengan Gantari sebelum berangkat. Tiba-tiba perhatianku teralihkan oleh pesan yang masuk ke ponselku.
"Gi, kakakku udah datang?"
"Dia lagi bicara sama guru, karena datang terlambat," balasku.
"Oh iya, makasih Gi."
"Sama-sama."
"Aku udah hubungi kamu, ya. Maaf telat, enggak sesuai janji kemarin."
"Ya, aku maafin, Bim."
Abimanyu tidak satu kelas denganku dan Abimana, awalnya mereka akan disatukan dalam satu kelas oleh pihak sekolah, tetapi Abimana dan Abimanyu menolak, entah karena apa alasannya.
Abimana dipersilakan duduk oleh guru. Dia memasang wajah lesu ketika duduk di bangkunya. Abimana menyadari bahwa sedari tadi aku memerhatikannya, dia memberi isyarat dengan menangkupkan kedua tangannya dan membuka mulut seakan berkata, "Maaf Gi, tadi aku enggak jadi jemput kamu." Sementara aku tidak merespon dan mengalihkan pandangan ke papan tulis.
"Gi, nanti pulang, mau kuantar?"
Pesan yang masuk dari Abimanyu membuatku cengar-cengir.
"Hanggia! Tolong perhatikan ke depan!"
"I-iya Pak, maaf."
***
Hore, udah di part 9. Lanjut di part 10 selanjutnya yuk? Biar tamat, hehe. Lesgoowww!
Komentar
Posting Komentar